23.472 Desa di Indonesia Punya Potensi Ekonomi Restoratif Tinggi, Studi CELIOS Ungkap Tantangannya
Studi CELIOS mengungkap 23.472 desa di Indonesia berpotensi besar untuk menerapkan ekonomi restoratif, namun masih menghadapi tantangan besar seperti kerusakan lingkungan dan minimnya kesadaran masyarakat.
Jakarta, 11 Maret 2024 - Sebuah studi terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan fakta mengejutkan: sebanyak 23.472 desa di Indonesia memiliki potensi tinggi untuk menerapkan ekonomi restoratif. Temuan ini menunjukkan kekuatan ekosistem di desa-desa tersebut, namun juga menyoroti perlunya pengelolaan yang bijak untuk keberlanjutan jangka panjang. Studi ini juga mengungkap tantangan besar yang dihadapi dalam mewujudkan potensi tersebut.
Laporan CELIOS yang berjudul "Membangun Ekonomi Restoratif di Desa: Solusi Melawan Janji Semu Swasembada" menekankan pentingnya ekonomi restoratif sebagai solusi atas degradasi lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali. Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, menilai kebijakan swasembada pangan pemerintah justru seringkali merusak lingkungan dan mengabaikan peran masyarakat lokal. Hal ini diperparah dengan minimnya kesadaran dan aksi proaktif dari pemerintah maupun masyarakat dalam menerapkan konsep ekonomi restoratif.
Studi ini juga mengidentifikasi 14 provinsi yang berpotensi menjadi pionir dalam ekonomi restoratif, dengan komoditas unggulan seperti karet, palawija, dan perikanan tangkap. Namun, 95,40 persen desa masih memiliki inisiatif rendah dalam mendukung agenda ini, dan 56,65 persen desa bahkan tidak memiliki mata air, menunjukkan dampak buruk eksploitasi sumber daya alam yang tak bertanggung jawab.
Potensi Besar, Tantangan Berat
Meskipun potensi ekonomi restoratif di 23.472 desa sangat besar, studi CELIOS juga menggarisbawahi tantangan yang dihadapi. Lebih dari 14 persen desa berbatasan langsung dengan laut, dan 24,11 persen berada di dalam atau sekitar kawasan hutan. Tanpa tindakan konkret, kerusakan ekosistem akan berdampak luas pada jutaan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam.
Lebih lanjut, 23.653 desa mengalami masalah serius akibat praktik ekonomi yang merusak. Jika tidak segera ditangani, degradasi ekosistem akan semakin parah, mengancam kesejahteraan masyarakat dan sumber daya alam Indonesia. CELIOS menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta dalam mengembangkan ekonomi restoratif.
Peneliti CELIOS, Jaya Darmawan, menjelaskan, "Ekonomi restoratif hadir dengan mendahulukan restorasi lingkungan, kemudian diikuti dengan pengelolaan potensi ekonomi desa yang bisa berdampingan dengan alam dan menyejahterakan." Beliau juga menyoroti kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan dan perkebunan sawit ilegal.
Kearifan Lokal dan Swasembada Sejati
Peneliti CELIOS lainnya, Galau D Muhammad, menambahkan bahwa ekonomi restoratif mengajarkan pentingnya memulihkan ekosistem yang rusak, menjaga harmoni dengan alam, dan menghidupkan kembali praktik-praktik tradisional yang berakar pada kearifan lokal. Ia mengkritik program swasembada nasional yang dinilai hanya simbolik dan tidak berkelanjutan.
Galau menyatakan, "Program swasembada nasional yang dipraktikkan saat ini hanya terlihat simbolik dan dipenuhi gimmick re-sentralisasi tata kelola sumber daya semata. Alih-alih berdikari dengan produksi domestik, kebijakan swasembada ala pemerintah yang invasif kian jauh memunggungi kultur keberlanjutan lokal dan tak menyisakan apa pun untuk generasi ke depan." Menurutnya, potensi ekonomi restoratif yang besar di desa-desa ini membutuhkan dukungan kebijakan yang kuat dan kolaborasi berbagai pihak.
Lebih dari 85 persen sumber penghasilan masyarakat Indonesia bergantung pada sektor alam seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan. Oleh karena itu, pendekatan ekonomi restoratif menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. CELIOS mendorong kebijakan yang mempertimbangkan daya dukung ekosistem agar praktik ekonomi tidak lagi berujung pada krisis ekologis dan ketimpangan sosial.
Langkah-langkah konkret harus segera diambil untuk meningkatkan kesadaran, membangun kebijakan yang tepat, dan menciptakan ekosistem ekonomi restoratif yang berkelanjutan bagi masa depan Indonesia. Potensi besar yang terungkap dalam studi ini harus dimaksimalkan dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan.