Adik Hendry Lie, Tersangka Korupsi Timah, Diizinkan Ikuti Sidang Secara Daring
Majelis Hakim Tipikor Jakarta mengizinkan Fandy Lingga, adik Hendry Lie, mengikuti sidang kasus korupsi timah secara daring karena kondisi kesehatannya yang memburuk pasca transplantasi.
Pengadilan Tipikor Jakarta mengabulkan permohonan tim penasihat hukum Fandy Lingga, adik terdakwa Hendry Lie, untuk mengikuti persidangan kasus korupsi timah secara daring. Keputusan ini diambil setelah majelis hakim mempertimbangkan kondisi kesehatan Fandy yang sedang mengalami kekambuhan limfoma pasca transplantasi. Sidang pembacaan surat dakwaan pada Selasa lalu menjadi latar belakang keputusan ini.
Hakim Ketua Toni Irfan menyatakan, keputusan tersebut sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang memperbolehkan sidang daring untuk tahanan kota. Namun, majelis hakim menetapkan syarat, yaitu kehadiran satu petugas kejaksaan dan satu penasihat hukum Fandy di rumahnya untuk mendampingi selama persidangan daring berlangsung. Hal ini mengacu pada SEMA yang biasanya menetapkan lokasi sidang daring di tempat tertentu, seperti rutan atau gedung pengadilan.
Kehadiran Fandy di sidang pembacaan surat dakwaan sebelumnya mengundang perhatian. Ia tampak menggunakan kursi roda dan didampingi oleh dokter Matthew Nathanael. Dokter tersebut menjelaskan kondisi Fandy yang baru menjalani transplantasi dan memiliki sistem imun yang masih lemah, sehingga perlu menghindari lingkungan dengan banyak orang. "Jadi memang secara kondisi, memang menegaskan bahwa pasien ini tidak bisa di lingkungan yang banyak orang, seperti itu. Maka disarankan dan diimbau untuk pasien di lingkungan rumah yang bersih," jelas Matthew.
Kasus Korupsi Pengelolaan Timah
Fandy Lingga didakwa terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. periode 2015—2022. Kasus ini mengakibatkan kerugian negara yang sangat signifikan, mencapai Rp300 triliun. Rincian kerugian tersebut meliputi Rp2,28 triliun dari aktivitas sewa-menyewa alat pengolahan, Rp26,65 triliun dari pembayaran biji timah kepada mitra tambang, dan Rp271,07 triliun dari kerugian lingkungan.
Sebagai Marketing PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2008-2018, Fandy diduga aktif terlibat dalam beberapa pertemuan yang membahas kerja sama smelter swasta dengan PT Timah. Pertemuan-pertemuan tersebut, antara lain, dilakukan di Griya PT Timah dan Hotel Novotel Pangkalpinang, melibatkan Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Operasi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar, serta 30 pemilik smelter swasta. Pembahasan dalam pertemuan tersebut berpusat pada permintaan Mochtar dan Alwin atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor para smelter swasta.
Fandy juga diduga memerintahkan Rosalina membuat surat penawaran kerja sama sewa alat pengolahan timah kepada PT Timah. Surat tersebut dibuat atas persetujuan pemilik manfaat PT TIN, Hendry Lie, dan ditujukan kepada empat smelter swasta: PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa (VIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), dan PT Stanindo Inti Perkasa (SIP).
Dakwaan dan Ancaman Pidana
Atas perbuatannya, Fandy didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman pidana yang dihadapi Fandy cukup berat mengingat besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus korupsi ini.
Sidang kasus korupsi timah ini terus berlanjut, dengan Fandy Lingga mengikuti persidangan secara daring dari rumahnya. Proses hukum akan terus berjalan untuk mengungkap seluruh fakta dan memastikan keadilan ditegakkan. Perkembangan selanjutnya dari persidangan ini akan terus dipantau dan dilaporkan.