Analis: Tarif Tambahan AS ke China Pengaruhi Pelemahan Rupiah
Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, menilai pelemahan rupiah disebabkan kebijakan tarif tambahan AS terhadap China yang efektif pada 4 Maret 2025, serta kondisi domestik seperti kenaikan *yield* obligasi dan pelemahan IHSG.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi sorotan setelah kebijakan tarif tambahan yang diterapkan Presiden AS Donald Trump terhadap China. Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, mengungkapkan bahwa kebijakan ini, yang akan efektif pada 4 Maret 2025, menjadi salah satu faktor utama pelemahan rupiah. Hal ini diperparah oleh kondisi ekonomi domestik yang kurang menguntungkan.
Pada penutupan perdagangan Jumat, rupiah melemah hingga 142 poin (0,86 persen) menjadi Rp16.596 per dolar AS. Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia juga ikut melemah ke level Rp16.575 per dolar AS. Rully Nova memprediksi pelemahan rupiah akan berlanjut di kisaran Rp16.500 - Rp16.600 dalam waktu dekat.
Trump akan membebankan China tambahan tarif 10 persen, menambah beban tarif sebelumnya yang telah diterapkan pada Februari 2025. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan global dan berdampak langsung pada nilai tukar rupiah. Selain faktor eksternal tersebut, kondisi domestik juga turut mempengaruhi pelemahan rupiah.
Kondisi Domestik Mempengaruhi Pelemahan Rupiah
Kenaikan *yield* obligasi pemerintah dan pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi indikator kondisi domestik yang kurang kondusif. Kondisi ini menunjukkan kurangnya kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia. Rully Nova menjelaskan bahwa Bank Indonesia (BI) telah berupaya menjaga stabilitas kurs rupiah dengan melakukan intervensi di pasar.
Namun, menurut Rully, intervensi BI saja tidak cukup. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menstabilkan pasar dan meningkatkan kepercayaan investor. Salah satu sarannya adalah menginstruksikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan *buy back saham* guna menstabilkan pasar saham.
Meskipun dampaknya terhadap rupiah mungkin tidak signifikan, langkah ini dinilai dapat memberikan ketenangan di pasar. Selain itu, pemerintah juga perlu memprioritaskan belanja pada sektor-sektor yang berdampak langsung pada daya beli masyarakat, khususnya sektor padat karya.
Solusi Jangka Pendek dan Panjang
Rully Nova menyarankan agar kebijakan efisiensi anggaran ditunda untuk sementara waktu guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ia mengakui bahwa pelemahan rupiah dalam jangka pendek sangat dipengaruhi oleh kebijakan tarif Trump, namun dalam jangka menengah dan panjang, fokus harus diarahkan pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat, nilai tukar rupiah diharapkan dapat kembali menguat. Pemerintah perlu fokus pada kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, menciptakan iklim investasi yang kondusif, dan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di pasar global. Hal ini akan menjadi kunci untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, pelemahan rupiah merupakan dampak dari kombinasi faktor eksternal dan internal. Kebijakan tarif tambahan AS terhadap China menjadi pemicu utama dalam jangka pendek, sementara kondisi domestik seperti *yield* obligasi dan IHSG yang lemah memperburuk situasi. Pemerintah dan BI perlu bekerja sama untuk mengambil langkah-langkah strategis guna mengatasi masalah ini dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.
"Walaupun tidak berpengaruh signifikan terhadap rupiah, tapi setidaknya bisa membuat pasar tenang," ungkap Rully Nova mengenai usulan *buy back saham* oleh BUMN.