Celios Sarankan Evaluasi Insentif Pajak Tekan Potensi Kehilangan Penerimaan
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyarankan evaluasi insentif perpajakan dan perbaikan sistem Coretax untuk mengatasi penurunan penerimaan pajak di awal tahun 2025.
Penurunan penerimaan pajak di Indonesia pada awal tahun 2025 telah menjadi sorotan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkapkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan nasional untuk mengatasi masalah ini. Penurunan tersebut, berdasarkan data Kementerian Keuangan, menunjukkan angka yang signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu, memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.
Bhima Yudhistira menyoroti perlunya evaluasi terhadap insentif perpajakan yang mencapai Rp362,5 triliun di tahun 2023. Menurutnya, sebagian insentif tersebut belum tepat sasaran, sehingga berpotensi mengurangi penerimaan pajak secara signifikan. Ia menekankan pentingnya evaluasi terhadap program seperti tax holiday dan tax allowance, mengingat adanya global minimum tax yang membatasi pemberian insentif pajak nol persen.
Selain itu, Bhima juga menyarankan beberapa langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan pajak. Ia menuturkan bahwa Celios mendukung pemerintah dalam mendorong implementasi pajak-pajak baru, seperti pajak karbon, pajak kekayaan terhadap 2 persen aset high net worth individual, reformasi pajak warisan, dan evaluasi pajak properti. Semua ini dinilai penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien.
Evaluasi Insentif Perpajakan dan Implementasi Pajak Baru
Bhima menjelaskan bahwa evaluasi insentif perpajakan menjadi langkah krusial untuk menekan potential loss atau potensi kehilangan penerimaan negara. Dengan penargetan yang lebih tepat, insentif pajak dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian tanpa mengorbankan penerimaan negara. Ia juga menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak global minimum tax dalam merumuskan kebijakan insentif perpajakan ke depannya.
Lebih lanjut, Bhima memaparkan dukungan Celios terhadap rencana pemerintah untuk menerapkan pajak-pajak baru. Pajak karbon, pajak kekayaan, reformasi pajak warisan, dan evaluasi pajak properti diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dan mendorong perilaku yang lebih bertanggung jawab secara lingkungan dan ekonomi. Implementasi yang tepat dan efektif dari pajak-pajak baru ini sangat penting untuk keberhasilannya.
"Itu (insentif perpajakan) sebagian belum tepat sasaran. Ini kita minta untuk dievaluasi ulang. Tax holiday, kemudian tax allowance. Apalagi sekarang sudah ada global minimum tax, jadi tidak bisa kasih 0 persen PPh badan, tidak bisa lagi sekarang," kata Bhima.
Ia menambahkan bahwa evaluasi ini harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk para ahli dan pelaku usaha, agar kebijakan yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Perbaikan Sistem Coretax dan Masalah Administrasi Perpajakan
Selain evaluasi insentif perpajakan, Bhima juga menyoroti pentingnya pembenahan sistem Coretax. Menurutnya, sistem ini memiliki peran yang sangat penting dalam kelancaran proses pengajuan, pembayaran, dan pelaporan pajak. Kepercayaan investor dan pelaku usaha asing terhadap sistem perpajakan Indonesia juga sangat bergantung pada kinerja Coretax yang handal dan efisien.
Bhima menyarankan pemerintah untuk melakukan audit terhadap sistem Coretax dan melakukan uji coba (pilot project) sebelum implementasi secara nasional. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir kendala dan memastikan sistem tersebut berfungsi dengan optimal. "Jadi ada waktu 1-2 tahun untuk masa uji coba (terhadap Coretax) yang matang," ujarnya.
Ia juga mencatat penurunan signifikan jumlah faktur pajak yang diproses setelah implementasi Coretax, dari 60 juta menjadi 20 juta per bulan. Hal ini menunjukkan adanya masalah administrasi perpajakan yang perlu segera ditangani. Penurunan ini berkontribusi terhadap penurunan penerimaan pajak secara keseluruhan.
Selain Coretax, Bhima juga menyebutkan penerapan tarif efektif rata-rata (TER) sebagai salah satu masalah administrasi perpajakan yang mempengaruhi penurunan penerimaan pajak. Ia menekankan pentingnya evaluasi dan perbaikan sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya.
Faktor Ekonomi Makro dan Dampak PHK
Bhima juga menyinggung faktor ekonomi makro yang mempengaruhi penurunan penerimaan pajak. Penurunan harga komoditas utama dan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Januari-Februari 2025 turut berkontribusi terhadap penurunan penerimaan pajak, khususnya dari sektor PPh 21 dan industri manufaktur.
Penurunan kontribusi industri manufaktur dari 30 persen menjadi 25 persen terhadap total penerimaan pajak menunjukkan melemahnya kualitas industri manufaktur di Indonesia. Kondisi ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor industri manufaktur dan meningkatkan daya saingnya di pasar global.
Secara keseluruhan, Bhima menekankan perlunya pendekatan holistik dalam mengatasi penurunan penerimaan pajak. Evaluasi insentif perpajakan, perbaikan sistem Coretax, implementasi pajak baru, dan penanganan faktor ekonomi makro merupakan langkah-langkah penting yang perlu dilakukan secara terintegrasi untuk memastikan keberlanjutan penerimaan pajak dan kesehatan perekonomian Indonesia.