Dai 3T: Tebar Kedamaian di Pelosok Negeri
Pengalaman para dai dalam program Dai 3T Kementerian Agama di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal, menghadapi tantangan unik dan membangun harmoni sosial.
Mumu Nazmudin (36), seorang dai dari Bogor, berbagi pengalamannya berdakwah di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, sebagai bagian dari program Dai 3T Kementerian Agama. Sejak 27 Februari 2025, ia bertugas di To’ Karau dan Baladatu Lembang, membimbing masyarakat Muslim di pedalaman. Perjalanan panjang dan menantang dari Jakarta, melalui Makassar hingga Toraja Utara, menunjukkan komitmennya dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah 3T.
Program Dai 3T, yang mengirimkan 1.000 dai ke berbagai wilayah 3T selama Ramadhan 2025, merupakan agenda tahunan sejak 2023. Mumu, seperti dai lainnya, menghadapi tantangan unik, termasuk kendala bahasa dan minimnya sarana ibadah. Namun, sambutan hangat warga dan toleransi tinggi antarumat beragama di Toraja Utara menjadi kekuatan besar baginya.
Pengalaman Mumu di warung makan, di mana pemilik warung dengan sopan mengarahkannya ke tempat makan muslim, menunjukkan betapa kuatnya penghormatan terhadap keyakinan di Toraja Utara. "Toleransi di sini luar biasa," kata Mumu, "Muslim memang tidak sebanyak kelompok lain, tetapi masyarakat, baik muslim maupun non-muslim, sangat menjunjung tinggi sikap saling menghormati. Saya benar-benar salut."
Tantangan dan Strategi Dakwah di Wilayah 3T
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Mumu adalah kendala bahasa. Komunikasi dengan warga di atas 40 tahun cukup sulit, sementara anak-anak lebih mudah memahami penyampaiannya. Hal ini menggarisbawahi pentingnya kehadiran dai di wilayah 3T untuk perkembangan Islam yang damai dan toleran. Minimnya sarana ibadah, hanya 21 masjid dan musala di seluruh Kabupaten Toraja Utara, juga menjadi tantangan.
Mumu menerapkan pendekatan dakwah yang efektif, terutama dengan anak-anak, melalui pendekatan sebaya. Ia juga berkomitmen untuk membimbing masyarakat secara daring setelah kembali ke Bogor, bahkan menawarkan kesempatan bagi pemuda setempat untuk belajar agama di Jawa dengan biaya ditanggungnya. "Saya mengajak anak-anak di daerah ini untuk menempuh pendidikan agama di Jawa. Keluarga hanya perlu menanggung tiket perjalanan, selebihnya akan saya tangani," ujarnya.
Pengalaman serupa dialami Musyawir (38), dai yang bertugas di Papua Barat pada 2024. Ia berdakwah di Kelurahan Kroy, Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana. Akses yang sulit, melalui laut dan sungai, dan kondisi geografis yang menantang menjadi bagian dari tugasnya. Persentase penduduk muslim dan non-muslim hampir seimbang, dengan keberagaman budaya dari delapan suku adat.
Berdakwah di Papua Barat membutuhkan pengorbanan besar, baik fisik maupun materi. Musyawir menekankan pentingnya strategi khusus, seperti berbaur dengan masyarakat, tidak menonjolkan penampilan, memberikan nasihat bijak, dan mengajarkan kebersihan. "Ikuti arus tapi jangan terbawa arus. Ikuti kebiasaannya yang tidak melanggar syariat, dan mengingatkan di saat melakukan kesalahan," kata Musyawir.
Membangun Harmoni dan Inklusivitas
Pada 2025, Kementerian Agama mengirimkan 1.000 dai dan daiyah ke wilayah 3T, wilayah khusus, dan luar negeri. Lima dai dikirim ke Australia, Jerman, dan Selandia Baru. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, mengapresiasi dedikasi para dai dalam menyebarkan ajaran Islam yang ramah, damai, dan moderat.
Kehadiran para dai di daerah 3T sangat strategis dalam membangun harmoni sosial dan memperkuat pemahaman keagamaan yang inklusif. Mereka tidak hanya berdakwah, tetapi juga membantu menyelesaikan persoalan masyarakat, mulai dari rumah tangga, ekonomi, pendidikan, hingga pencegahan stunting. Banyak dai yang memilih menetap dan bahkan menikah dengan warga setempat, menunjukkan komitmen mereka yang mendalam.
Kisah Mumu dan Musyawir mencerminkan dedikasi dan pengorbanan para dai dalam program Dai 3T. Mereka menghadapi tantangan yang signifikan, namun tetap teguh dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang damai dan toleran, serta membangun harmoni sosial di wilayah terpencil Indonesia. Program ini bukan hanya tentang penyebaran agama, tetapi juga tentang membangun jembatan kebersamaan dan saling menghormati antarumat beragama.