DPR Desak Hukuman Maksimal untuk Mantan Kapolres Ngada yang Cabuli Anak
Anggota DPR Selly Andriany Gantina mendesak hukuman maksimal bagi mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar, atas pencabulan dan perekaman tiga anaknya, serta dugaan penyalahgunaan narkoba.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, dengan tegas mendesak mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, untuk dihukum seberat-beratnya atas dugaan pencabulan dan perekaman tiga anaknya yang masih di bawah umur. Peristiwa ini terjadi di Ngada, Nusa Tenggara Timur, dan terungkap setelah AKBP Fajar dicopot dari jabatannya. Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan anak dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual, terutama di lingkungan aparat penegak hukum.
Selain dugaan pencabulan, AKBP Fajar juga terindikasi penyalahgunaan narkoba jenis sabu-sabu. Selly menyatakan, "Harus dihukum maksimal. Apalagi, dia sebagai Kapolres seharusnya memberi contoh, bukan merenggut masa depan anaknya sendiri, benar-benar perbuatan biadab." Pernyataan ini mewakili kemarahan publik atas tindakan mantan perwira polisi tersebut dan menunjukkan betapa seriusnya kasus ini.
Meskipun AKBP Fajar telah dicopot dari jabatannya dan sedang dalam proses pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) di lingkungan Polri, Selly menegaskan bahwa hal tersebut tidak cukup. Ia menekankan perlunya hukuman maksimal agar keadilan dapat ditegakkan dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan serupa. Kasus ini menjadi sorotan tajam atas penegakan hukum di Indonesia.
Tuntutan Hukuman Maksimal dan UU yang Berlaku
Selly merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk menuntut hukuman maksimal bagi AKBP Fajar. Jeratan Pasal 13 UU TPKS dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar dapat dikenakan. Namun, mengingat status pelaku sebagai pejabat daerah dan keluarga korban, hukumannya dapat diperberat sepertiga atau ditambah 5 tahun. Perekaman tindakan kejahatan tersebut juga dapat dikenakan hukuman tambahan 4 tahun.
Lebih lanjut, terkait dugaan penyalahgunaan narkoba, AKBP Fajar melanggar Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika. Selly berpendapat bahwa jika kedua pasal tersebut dijuncto-kan, hukuman minimal yang dapat dijatuhkan adalah 20 tahun penjara. Namun, mengingat kebiadaban tindakannya, Selly menilai hukuman seumur hidup atau hukuman mati lebih pantas diberikan.
Selain itu, Selly juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap anak dan perempuan sebagai prioritas utama dalam sistem hukum dan kebijakan negara, sesuai dengan mandat Ketua DPR RI Puan Maharani. Kasus ini menjadi pengingat bahwa kejahatan terhadap anak merupakan pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan tidak boleh dibiarkan.
Perlindungan Anak dan Penguatan Hukum
Selly mendesak agar proses hukum berjalan transparan dan akuntabel untuk memastikan keadilan bagi para korban. Hal ini sejalan dengan komitmen Partai PDI Perjuangan yang selalu menekankan pentingnya menjaga harkat dan martabat perempuan serta anak. Upaya untuk memperkuat perlindungan hukum dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pencegahan kekerasan seksual juga menjadi hal penting.
Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, Selly menyarankan perluasan sosialisasi UU Perlindungan Anak dan UU TPKS, terutama di lingkungan institusi penegak hukum. Ia juga berharap agar peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak diperkuat untuk memastikan korban mendapatkan pendampingan hukum dan psikososial yang memadai.
Pengawasan yang lebih ketat terhadap institusi penegak hukum juga dianggap perlu untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Selly menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga meninggalkan luka mendalam yang berdampak pada masa depan korban.
Pemulihan Korban dan Pencegahan Kejadian Berulang
Penegakan hukum yang tegas dan berpihak pada korban harus menjadi komitmen bersama. Tidak boleh ada ruang bagi pelaku kekerasan seksual di institusi negara maupun di tengah masyarakat. Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat sistem perlindungan anak di Indonesia dan memastikan setiap anak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bebas dari ancaman kekerasan.
Masa depan anak-anak korban kekerasan seksual harus menjadi perhatian utama. Negara tidak hanya harus menegakkan hukum terhadap pelaku, tetapi juga memastikan pemulihan psikologis dan sosial bagi korban. Dukungan pendidikan, rehabilitasi, dan lingkungan yang aman harus diprioritaskan agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan normal tanpa trauma berkepanjangan.
Kerja sama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sangat penting dalam memperkuat sistem perlindungan anak. Pendidikan tentang bahaya kekerasan seksual harus ditanamkan sejak dini, dan negara harus hadir secara nyata untuk menjamin setiap anak dapat tumbuh dengan aman dan memiliki masa depan yang cerah.