DPR Desak Kementerian ATR/BPN Segera Selesaikan Konflik Agraria di Kalbar
Anggota DPR RI mendesak Kementerian ATR/BPN untuk segera menyelesaikan konflik agraria di Kalimantan Barat yang melibatkan masyarakat dan perusahaan perkebunan besar, khususnya dugaan penyerobotan lahan dan ketidakadilan skema plasma.
Konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan perkebunan di Kalimantan Barat (Kalbar) kembali menjadi sorotan. Anggota DPR RI periode 2019-2024, Cornelis, mantan Gubernur Kalbar, mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera menyelesaikan permasalahan ini. Permasalahan ini telah berlangsung lama dan berdampak luas bagi masyarakat Kalbar. Desakan ini muncul menyusul maraknya sengketa lahan yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan terhadap Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan.
Menurut Cornelis, banyak HGU yang tumpang tindih dengan lahan masyarakat, termasuk perkampungan dan kebun warga. "Maraknya sengketa lahan di Kalimantan Barat disebabkan oleh lemahnya pengawasan terhadap hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan yang sering tumpang tindih dengan kepemilikan lahan masyarakat. Masih banyak HGU yang di dalamnya terdapat perkampungan, kebun, dan tanah masyarakat yang belum terselesaikan sehingga pemerintah harus segera turun tangan agar konflik ini tidak semakin meluas," tegas Cornelis dalam pernyataannya di Pontianak, Rabu.
Ia juga menekankan pentingnya koordinasi antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memastikan legalitas pengelolaan lahan, terutama di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Ketidakjelasan legalitas ini menjadi salah satu akar permasalahan konflik agraria yang berkepanjangan.
Dugaan Penyerobotan Lahan dan Ketidakadilan Skema Plasma
Cornelis turut menyoroti dugaan penyerobotan lahan oleh perusahaan besar di Kalbar, termasuk di Kabupaten Ketapang. Beberapa perusahaan perkebunan diduga menguasai lahan warga dengan dalih skema plasma, namun tanpa transparansi dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat yang kehilangan hak atas tanah mereka.
Ia menambahkan bahwa penyelesaian konflik agraria membutuhkan ketegasan pemerintah pusat, bukan hanya tindakan sporadis. "Kementerian ATR/BPN dan KLHK harus memastikan hak-hak masyarakat tidak dirampas oleh korporasi. Ketidaktegasan pemerintah hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat," ujarnya.
Masyarakat Kalbar berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan konflik ini demi keadilan dan kepastian hukum. Ketidakpastian hukum ini telah menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi warga yang terdampak.
Kasus di Ketapang: Warga Sandai Berjuang Kembalikan Hak Tanah
Ketua Koperasi Nasional Pangkat Longka Ketapang Sejahtera, M. Sandi, mengungkapkan perjuangan warga Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka yang diduga diserobot oleh PT Sandai Makmur Sawit dan PT Mukti Plantation, anak perusahaan Mukti Group.
Sandi menjelaskan bahwa Mukti Group diduga mengelola lahan warga dengan kedok plasma, tetapi tidak sesuai prinsip kemitraan yang adil. "Tanah dan kebun warga dipakai tanpa pemberitahuan dan pembagian keuntungan, bahkan ada indikasi perusahaan tersebut merambah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK)," ungkap Sandi.
Ia mengapresiasi tindakan tegas Presiden dalam menyegel lahan perusahaan di Riau dan berharap tindakan serupa diterapkan di Kalbar. "Warga di Sandai, Ketapang, selama ini merasa tertindas. Kami berharap pemerintah menyegel Mukti Group yang diduga tidak hanya menyerobot lahan warga, tetapi juga terindikasi menggelapkan pajak selama puluhan tahun. Tidak hanya masyarakat, negara juga dirugikan triliunan rupiah akibat dugaan penghindaran pajak," tegasnya.
Kasus di Ketapang ini menjadi contoh nyata betapa kompleksnya konflik agraria di Kalbar dan betapa mendesaknya penyelesaian yang adil dan transparan.
Kesimpulan: Desakan DPR RI terhadap Kementerian ATR/BPN untuk segera menyelesaikan konflik agraria di Kalbar merupakan langkah penting untuk melindungi hak-hak masyarakat dan menegakkan hukum. Penyelesaian yang adil dan transparan sangat dibutuhkan untuk mencegah konflik serupa di masa mendatang dan memastikan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.