Formappi: Gugatan Domisili Caleg Sesuai Dapil di MK Masuk Akal, Tingkatkan Kualitas Kaderisasi Partai
Formappi menilai gugatan ke MK agar caleg berdomisili sesuai dapil masuk akal, mendorong kaderisasi partai yang lebih baik dan hubungan wakil rakyat-konstituen yang lebih intim.
Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini sedang menyidangkan gugatan terkait calon anggota legislatif (caleg) yang harus berdomisili atau memiliki KTP sesuai daerah pemilihan (dapil). Gugatan diajukan oleh aliansi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang, merespon tingginya persentase caleg (59,53 persen pada Pemilu 2019-2024) yang tidak berdomisili di dapil mereka. Formappi, sebuah lembaga riset politik, menilai gugatan tersebut masuk akal dan dapat meningkatkan kualitas kaderisasi partai politik di Indonesia.
Lucius Karus dari Formappi menjelaskan bahwa idealnya, caleg berasal dari daerah yang diwakilinya. Hal ini akan menciptakan hubungan yang lebih erat antara wakil rakyat dan konstituen. "Idealnya sih caleg seharusnya datang dari tempat rakyat yang ingin diwakilinya. Peran wakil rakyat yang harus memperjuangkan aspirasi warga di dapil akan jauh lebih bermakna jika yang berjuang adalah orang yang menyelami lahir dan batin persoalan warga di dapil," ujar Lucius.
Praktik selama ini menunjukkan kecenderungan partai politik, khususnya dewan pimpinan pusat (DPP), menunjuk caleg dari daerah lain, seringkali dari Jakarta. Hal ini dinilai tidak adil bagi kader daerah yang potensial namun kurang memiliki akses ke DPP. Menurut Lucius, wakil rakyat yang berasal dari dapil akan lebih memahami dan memiliki empati yang lebih tinggi terhadap permasalahan di daerah tersebut. "Emosinya sebagai akamsi (putra daerah) akan lebih terasa ketimbang wakil rakyat dari tempat lain yang ditunjuk partai," tambahnya.
Gugatan MK: Antara Idealitas dan Realitas
Lucius menekankan pentingnya memprioritaskan kader lokal dalam pencalonan legislatif. Namun, ia juga mengakui bahwa hal tersebut tidak bisa menjadi keharusan mutlak. Banyak kader yang berdomisili di luar dapil karena alasan pekerjaan atau faktor lain. "Enggak bisa juga langsung menjadikannya sebuah keharusan karena dalam banyak hal ada banyak akamsi yang domisilinya di tempat lain karena alasan pekerjaan. Jadi akamsi enggak bisa hanya diukur dari alamat domisili saja," jelasnya.
Gugatan yang diajukan ke MK ini didasarkan pada Pasal 240 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang pendahuluan perkara ini telah dilaksanakan pada 5 Maret 2025, dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama hakim konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
Mahasiswa penggugat menyoroti data dari KPU yang menunjukkan tingginya persentase caleg yang tidak berdomisili di dapilnya. Mereka berharap putusan MK dapat mendorong perubahan sistem pencalonan yang lebih berkeadilan dan representatif.
Data KPU pada tahun 2018 menunjukkan 3.387 caleg (59,53 persen) tidak berdomisili di dapilnya. Angka ini menjadi dasar kekhawatiran akan kurangnya pemahaman caleg terhadap permasalahan di daerah pemilihannya.
Dampak Potensial Putusan MK
Putusan MK atas gugatan ini berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap sistem politik Indonesia. Jika MK mengabulkan gugatan, maka partai politik akan lebih terdorong untuk melakukan kaderisasi yang lebih sistematis dan memperhatikan kader lokal. Hal ini dapat meningkatkan kualitas representasi di parlemen dan memperkuat hubungan antara wakil rakyat dan konstituen.
Namun, putusan MK juga perlu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk realitas di lapangan dan kemungkinan kendala administratif. Penting untuk menemukan keseimbangan antara idealitas dan praktik politik yang ada. Sistem kaderisasi partai yang lebih baik diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk masalah ini.
Perlu diingat bahwa kualitas wakil rakyat tidak hanya ditentukan oleh domisili, tetapi juga oleh kompetensi, integritas, dan komitmennya terhadap kepentingan rakyat. Oleh karena itu, putusan MK diharapkan dapat mendorong perbaikan sistem pencalonan yang holistik dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, perdebatan seputar domisili caleg ini menyoroti pentingnya kaderisasi partai yang kuat dan representasi yang lebih baik di parlemen. Putusan MK akan menjadi tonggak penting dalam menentukan arah reformasi politik di Indonesia.