Indeks Literasi dan Inklusi Keuangan Nasional 2025 Meningkat, Capai 66,46 Persen!
BPS dan OJK laporkan peningkatan indeks literasi dan inklusi keuangan nasional di tahun 2025, mencapai 66,46 persen (metode keberlanjutan) dan 66,64 persen (cakupan DNKI).
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengumumkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2025. Survei tersebut menunjukkan kabar baik bagi perekonomian Indonesia, yaitu peningkatan indeks literasi dan inklusi keuangan nasional. Peningkatan ini mencerminkan langkah positif dalam meningkatkan pemahaman dan akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal.
Secara spesifik, indeks literasi keuangan nasional meningkat menjadi 66,46 persen (metode keberlanjutan) dibandingkan 65,43 persen pada SNLIK 2024. Sementara itu, indeks inklusi keuangan juga menunjukkan peningkatan yang signifikan, mencapai 80,51 persen (metode keberlanjutan), naik dari angka 75,02 persen di tahun sebelumnya. Data ini disampaikan langsung oleh Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat lalu.
Peningkatan ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan jasa keuangan, serta peningkatan aksesibilitas terhadap layanan tersebut. Hal ini tentunya menjadi indikator positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang, karena semakin banyaknya masyarakat yang terhubung dengan sistem keuangan formal akan mendorong aktivitas ekonomi yang lebih produktif.
Peningkatan Indeks Literasi dan Inklusi Keuangan: Dua Metode Pengukuran
SNLIK 2025 menyajikan data dengan dua metode: metode keberlanjutan dan cakupan Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI). Metode keberlanjutan, yang memungkinkan perbandingan langsung dengan data SNLIK 2024, menunjukkan indeks literasi 66,46 persen dan inklusi 80,51 persen. Metode ini mencakup lembaga jasa keuangan (LJK) sembilan sektor dan penyelenggara sistem pembayaran (PSP).
Sembilan sektor LJK tersebut meliputi perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga pembiayaan, dana pensiun, pergadaian, lembaga keuangan mikro, fintech lending, dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Sedangkan PSP mencakup e-money, dompet digital, kartu kredit, QRIS, dan lainnya. Perlu dicatat bahwa metode keberlanjutan ini menggunakan cakupan dan klasifikasi penghitungan yang konsisten dengan SNLIK 2024.
Sementara itu, metode cakupan DNKI, yang disesuaikan dengan indeks inklusi keuangan DNKI, menghasilkan angka yang sedikit berbeda. Metode ini, selain mencakup LJK sembilan sektor dan PSP, juga memasukkan BPJS dan LJK lainnya seperti koperasi simpan pinjam, penyelenggara perdagangan aset kripto, PT POS Indonesia, dan lembaga penjaminan. Hasilnya, indeks literasi dan inklusi keuangan dengan cakupan DNKI masing-masing tercatat 66,64 persen dan 92,74 persen.
"DNKI sebenarnya tidak melaksanakan survei, tetapi DNKI melakukan penghitungan berdasarkan data Susenas kita. Karena data Susenas tidak digunakan secara langsung untuk penghitungan untuk yang SNLIK, maka ini semacam pendekatan untuk data Susenas-nya," jelas Ateng Hartono.
Metodologi SNLIK 2025 dan Cakupan Survei
SNLIK 2025 menggunakan metode computer-assisted personal interviewing (CAPI) dengan wawancara tatap muka. Survei ini mencakup 34 provinsi di 120 kabupaten/kota, termasuk delapan wilayah kantor regional OJK. Sebanyak 10.800 responden berusia 15-79 tahun dilibatkan, dengan response rate mencapai 99,56 persen. Pelaksanaan survei berlangsung dari 13 Januari hingga 11 Februari 2025.
Data yang diperoleh dari SNLIK 2025 memberikan gambaran yang komprehensif tentang tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Peningkatan indeks ini menunjukkan keberhasilan upaya pemerintah dan lembaga terkait dalam meningkatkan pemahaman dan akses masyarakat terhadap layanan keuangan. Namun, tetap diperlukan upaya berkelanjutan untuk memastikan seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat dari sistem keuangan yang inklusif dan literasi keuangan yang memadai.
Ke depannya, perlu adanya strategi yang lebih terarah dan komprehensif untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal. Peningkatan akses teknologi dan edukasi keuangan yang tepat sasaran menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai inklusi keuangan yang lebih merata di seluruh Indonesia.