KPK Kaji UU BUMN: Direksi dan Komisaris BUMN Bukan Penyelenggara Negara, Pengaruhnya pada Pencegahan Korupsi?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengkaji UU BUMN baru yang menyatakan direksi dan komisaris BUMN bukan penyelenggara negara, menimbulkan pertanyaan tentang dampaknya pada upaya pemberantasan korupsi.
Jakarta, 3 Mei 2025 - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan segera mengkaji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Fokus kajian tersebut tertuju pada substansi yang menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN bukan lagi termasuk penyelenggara negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait dampaknya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kajian ini penting mengingat komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk meminimalisir kebocoran anggaran negara.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menjelaskan bahwa kajian tersebut akan dilakukan oleh Biro Hukum dan Kedeputian Penindakan KPK. Tujuannya adalah untuk menganalisis sejauh mana perubahan regulasi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang selama ini dilakukan oleh KPK. KPK perlu memastikan agar upaya pemberantasan korupsi tetap efektif dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Tessa Mahardhika Sugiarto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat lalu. Beliau menekankan pentingnya kajian ini untuk memastikan KPK dapat terus menjalankan tugasnya secara optimal dalam memberantas korupsi di Indonesia. KPK, sebagai lembaga penegak hukum, wajib taat pada aturan yang berlaku, termasuk UU BUMN yang baru.
Dampak UU BUMN terhadap Kewenangan KPK
UU Nomor 1 Tahun 2025, yang mulai berlaku pada 24 Februari 2025, telah merevisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Perubahan signifikan terdapat pada Pasal 9G yang secara tegas menyatakan bahwa "anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara." Pernyataan ini menimbulkan implikasi hukum yang signifikan, terutama bagi KPK.
Selama ini, KPK memiliki kewenangan untuk menindak penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi. Definisi penyelenggara negara sendiri tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut menyebutkan bahwa penyelenggara negara mencakup pejabat negara di eksekutif, legislatif, atau yudikatif, serta pejabat lain yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
Dengan perubahan UU BUMN ini, kewenangan KPK dalam menindak dugaan korupsi yang melibatkan direksi dan komisaris BUMN menjadi terbatas. KPK perlu menganalisis lebih lanjut implikasi hukum dari perubahan ini dan mencari solusi agar upaya pemberantasan korupsi tetap efektif.
Tessa Mahardhika Sugiarto menegaskan bahwa KPK sebagai pelaksana UU tidak boleh keluar dari koridor hukum yang berlaku. "Kalau memang saat ini bukan merupakan penyelenggara negara yang bisa ditangani oleh KPK, ya tentu KPK tidak bisa menangani," jelasnya.
Kajian Mendalam dan Masukan untuk Pemerintah
KPK berkomitmen untuk memberikan masukan kepada pemerintah terkait perbaikan atau peningkatan peraturan perundang-undangan, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Kajian yang dilakukan KPK diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang konstruktif untuk penyempurnaan UU BUMN, jika diperlukan.
Proses kajian ini akan melibatkan berbagai pihak di internal KPK untuk memastikan analisis yang komprehensif dan akurat. Hasil kajian ini akan menjadi dasar bagi KPK dalam menentukan langkah selanjutnya dalam menangani potensi kasus korupsi yang melibatkan direksi dan komisaris BUMN.
Dengan adanya kajian ini, diharapkan akan tercipta keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak-hak setiap warga negara. KPK berkomitmen untuk terus berupaya memberantas korupsi di Indonesia sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Kesimpulannya, perubahan UU BUMN ini menimbulkan tantangan baru bagi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Kajian yang dilakukan KPK diharapkan dapat menghasilkan solusi yang tepat agar upaya pemberantasan korupsi tetap efektif dan efisien.