LBH Jakarta Kritik RUU KUHAP: Superioritas Penyidikan Ancam Hak Tersangka
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan pengamat kepolisian mengkritik draf revisi RUU KUHAP yang dinilai memberikan superioritas penyidikan dan berpotensi melanggar hak tersangka serta menghilangkan prinsip check and balance.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoroti draf revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai memberikan superioritas kepada penyidik. Kritik ini disampaikan menyusul kekhawatiran akan dampak buruk terhadap pemenuhan hak-hak tersangka. Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, menyatakan bahwa superioritas penyidikan berpotensi menyebabkan pelanggaran hak-hak tersangka dan menghambat penegakan kebenaran dan keadilan. Pernyataan ini disampaikan pada Jumat, 7 Maret 2023, di Jakarta.
Arif Maulana menekankan pentingnya independensi, profesionalitas, dan integritas dalam proses penegakan hukum. Ia memperingatkan agar revisi KUHAP tidak justru meningkatkan represivitas dan hegemoni kekuasaan. Menurutnya, kontrol yang ketat terhadap kewenangan penyidikan dan upaya paksa, termasuk penuntutan, pengadilan, dan pemasyarakatan, sangat diperlukan. Dalam hal ini, bantuan hukum memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengawasi proses tersebut.
LBH Jakarta juga mencatat sejumlah data yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dimiliki LBH Jakarta, dari Januari hingga September 2023, Kompolnas menerima 1.150 saran dan keluhan masyarakat, dengan 1.098 di antaranya terkait pelayanan buruk Polri. Keluhan tersebut meliputi pelayanan buruk, perlakuan diskriminatif, hingga penyalahgunaan wewenang. Data ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja kepolisian.
Kekhawatiran Terhadap Superioritas Penyidik dan Hilangnya Check and Balance
Arif Maulana menilai Kepolisian cenderung resisten terhadap usulan pembatasan dan pengawasan kewenangan. Hasil penelitian LBH Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH-UI periode 2012-2014 juga menunjukkan permasalahan dalam proses penegakan hukum. Dari 1.144.108 perkara yang diterima, hanya 645.780 yang diproses. Sebanyak 255.618 perkara masih mengendap, dan 44.273 perkara diduga hilang. Temuan ini semakin memperkuat argumen LBH Jakarta tentang perlunya reformasi dalam sistem peradilan pidana.
Senada dengan LBH Jakarta, pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, juga mengkritik draf RUU KUHAP. Ia menilai penambahan kewenangan penyidik berpotensi menciptakan kewenangan absolut. Bambang menyoroti Pasal 16 (1) yang memungkinkan penyidikan dilakukan tanpa memberitahu penuntut umum, sehingga menghilangkan prinsip check and balance. Menurutnya, selama ini pengawasan terhadap penyidikan nyaris tidak ada, sehingga revisi KUHAP harus memberikan ruang untuk kontrol dan pengawasan yang lebih efektif.
Bambang menekankan pentingnya mekanisme pengawasan, baik melalui koordinasi, dominus litis pada kejaksaan, atau hakim komisioner. Tanpa pengawasan yang memadai, kesewenang-wenangan penyidik kepolisian akan terus berlanjut. Ia berharap revisi KUHAP dapat mengatasi masalah ini dan memastikan penegakan hukum yang adil dan transparan.
Secara keseluruhan, baik LBH Jakarta maupun pengamat kepolisian menyuarakan keprihatinan atas draf RUU KUHAP yang dinilai memberikan superioritas kepada penyidik. Mereka menekankan pentingnya pembatasan kewenangan, pengawasan yang ketat, dan perlindungan hak-hak tersangka untuk memastikan penegakan hukum yang berkeadilan dan berintegritas. Hilangnya prinsip check and balance dikhawatirkan akan semakin memperparah permasalahan penegakan hukum yang sudah ada.