Mahasiswa Gugat UU TNI ke MK: Proses Pembentukan Dinilai Cacat Formal
Sembilan gugatan uji formal diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU TNI yang baru karena dinilai cacat prosedur dan melanggar asas keterbukaan.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pada Jumat, 9 Mei 2025, untuk mendengarkan sembilan gugatan uji formal terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Para pemohon, yang terdiri dari mahasiswa, advokat, dan karyawan swasta, menilai proses pembentukan UU TNI cacat formal dan melanggar prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Gugatan ini diajukan melalui sembilan perkara berbeda, yaitu Perkara Nomor 45, 55, 56, 58, 66, 69, 74, 75, dan 79/PUU-XXIII/2025. Mereka meminta MK membatalkan UU TNI yang baru dan mengembalikan UU TNI sebelumnya.
Salah satu poin utama gugatan menyoroti minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan UU TNI. Pemohon Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025, tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan bahwa draf RUU TNI yang beredar di masyarakat bukanlah draf resmi yang dibahas oleh Komisi I DPR RI. Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum mereka, Muhammad, yang mengutip pernyataan Wakil Ketua DPR RI pada 18 Maret 2025. Mereka berpendapat, hal tersebut bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang menekankan asas keterbukaan dalam pembentukan UU.
Selain itu, pemilihan UU TNI sebagai RUU carry over juga dipertanyakan. Pemohon Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025, tiga mahasiswa FH UI lainnya, berpendapat bahwa UU TNI tidak memenuhi kriteria RUU carry over karena proses pembentukannya pada periode 2019-2024 belum sampai pada tahap pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM). Mereka juga menyoroti Surat Presiden (Supres) Nomor R-07/Pres/02/2025 yang diterbitkan lima hari sebelum RUU TNI masuk Prolegnas Prioritas 2025, dinilai sebagai awal pembahasan antara Pemerintah dan DPR, sebelum RUU tersebut melewati tahap perencanaan secara sah.
Proses Pembentukan UU TNI Dinilai Tidak Transparan
Pemohon dari Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025, lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, menilai proses pembentukan UU TNI terkesan tertutup dan tergesa-gesa. Mereka menyoroti rapat konsinyasi panitia kerja yang dilaksanakan di hotel mewah dan secara tertutup. Menurut mereka, hal ini menunjukkan pengabaian partisipasi publik yang bermakna dan mencederai hak konstitusional warga negara. "Undang-undang yang lahir dari proses yang cacat partisipasi seperti ini akan kehilangan legitimasi demokratisnya," ujar Kartika Eka Pertiwi, salah satu pemohon Perkara Nomor 69.
Para pemohon menekankan bahwa proses pembentukan UU yang tidak transparan dan partisipatif tidak hanya melanggar prosedur, tetapi juga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Mereka meminta MK untuk menyatakan UU TNI yang baru tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena cacat formal.
Mahkamah Konstitusi telah menerima 14 permohonan terkait pengujian UU Nomor 3 Tahun 2025. Sebanyak 11 permohonan telah disidangkan, termasuk sembilan perkara uji formal yang dibahas dalam artikel ini. Dua permohonan lainnya belum disidangkan, dan satu permohonan belum diregistrasi.
Kesimpulan
Sidang perdana di MK ini menjadi sorotan penting terkait proses pembentukan UU TNI. Gugatan yang diajukan para pemohon menunjukkan keprihatinan atas proses legislasi yang dinilai tidak transparan dan mencederai prinsip-prinsip demokrasi. Keputusan MK nantinya akan menentukan nasib UU TNI yang baru dan menjadi preseden penting bagi proses pembentukan undang-undang di masa mendatang.