Mantan Kadinkes Tapteng Divonis 16 Bulan Penjara Kasus Korupsi Rp10,6 Miliar
Mantan Kepala Dinas Kesehatan Tapanuli Tengah, Nursyam, divonis 16 bulan penjara dan wajib membayar uang pengganti Rp10,6 miliar lebih atas kasus korupsi dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
Pengadilan Tipikor Medan menjatuhkan vonis 16 bulan penjara kepada Nursyam (55), mantan Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara. Nursyam terbukti bersalah dalam kasus korupsi dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) senilai Rp10,61 miliar. Vonis dibacakan oleh Hakim Ketua As’ad Rahim Lubis pada Rabu, 7 Mei 2024, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan. Selain hukuman penjara, Nursyam juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp10.616.514.425. Jika tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita dan dilelang.
Kasus ini melibatkan dua terdakwa lain, Henny Nopriani Gultom (mantan Kasi Pelayanan Rujukan Dinkes Tapteng) dan Herlismart Habayahan (mantan Kabid Pelayanan Dinkes Tapteng). Keduanya juga divonis 16 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsider satu bulan kurungan. Namun, mereka tidak dibebankan kewajiban membayar uang pengganti karena telah mengembalikan uang yang dinikmati masing-masing sebesar Rp21 juta dan Rp20 juta.
Kasus korupsi ini bermula dari pemotongan dana BOK dari 25 Puskesmas di Tapteng tahun anggaran 2023. Ketiga terdakwa terbukti menerima setoran dana hasil pemotongan BOK dan uang jasa pelayanan. Hakim menyatakan perbuatan mereka melanggar Pasal 11 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Kronologi Kasus Korupsi Dana BOK
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumut, Putri Marlina Sari, sebelumnya menuntut ketiga terdakwa dengan pidana penjara dua tahun dan denda Rp100 juta subsider tiga bulan kurungan. Namun, majelis hakim menilai vonis yang lebih ringan sudah cukup. Menurut JPU, Nursyam menerima setoran hasil pemotongan BOK dari 25 Puskesmas di Tapteng sejak Januari hingga Oktober 2023, dengan total dana yang mencapai puluhan miliar rupiah.
Pemotongan dana BOK sebesar 50 persen dilakukan oleh kepala Puskesmas dan bendahara BOK setiap bulan. Dana tersebut kemudian dikumpulkan oleh Henny Nopriani Gultom sebelum diserahkan kepada Nursyam. Uang tersebut diberikan agar Nursyam tidak mempersulit atau memutasi para kepala Puskesmas dan bendahara. Henny dan Herlismart juga menerima bagian dari uang tersebut sebagai imbalan atas jasa mereka.
Praktik ini menyebabkan penyalahgunaan dana BOK yang seharusnya digunakan sesuai rencana anggaran biaya (RAB), Plan of Action (POA), dan Rencana Pencairan Dana (RPD) yang telah disetujui Kementerian Kesehatan. Pemotongan dana BOK baru terhenti setelah diketahui oleh Penjabat (Pj) Bupati Tapteng, Dr. H. Sugeng Riyanta, pada Desember 2023. Setelah teguran dari Pj Bupati, pemotongan tidak lagi dilakukan pada November dan Desember 2023.
Hakim memberikan waktu tujuh hari kepada para terdakwa dan JPU untuk menyatakan sikap apakah akan mengajukan banding atau menerima vonis tersebut. Putusan ini menjadi perhatian publik, mengingat besarnya kerugian negara yang ditimbulkan dan jabatan para terdakwa dalam sektor kesehatan.
Penjelasan Pasal yang Dilanggar
Pasal 11 junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengatur tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau orang yang bekerja untuk negara. Pasal ini mengatur sanksi pidana bagi mereka yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau merugikan keuangan negara.
Sementara itu, Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP mengatur tentang turut serta melakukan tindak pidana dan penjatuhan pidana gabungan. Dalam kasus ini, ketiga terdakwa dinyatakan turut serta melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dijatuhi pidana gabungan sesuai dengan peran masing-masing.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, khususnya di sektor kesehatan. Proses hukum yang berjalan diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.