Penertiban Kawasan Hutan: LPEM UI Tekankan Pendekatan Bijak
LPEM FEB UI meminta pemerintah menerapkan Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan secara bijak, mempertimbangkan aspek ekonomi dan keadilan agar tidak merugikan masyarakat dan iklim investasi.
Jakarta, 18 Februari 2025 - Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Eugenia Mardanugraha, menyoroti pentingnya pendekatan bijak dalam penertiban kawasan hutan. Hal ini terkait dengan berlakunya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Menurut Eugenia, penertiban tidak bisa dilakukan secara serampangan tanpa mempertimbangkan konteks ekonomi dan sosial yang sudah terbangun di lahan tersebut.
Pertimbangan Aspek Ekonomi dan Sosial
Eugenia menekankan agar pemerintah menghindari kebijakan yang merugikan masyarakat luas dan berdampak negatif pada iklim investasi di Indonesia. "Perpres ini tujuannya baik, tetapi jangan dijalankan secara membabi buta," tegas Eugenia dalam keterangan resmi di Jakarta. Ia menyarankan agar Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan melakukan verifikasi lahan secara detail sebelum melakukan penertiban, khususnya lahan sawit yang sudah lama beroperasi.
Perpres Nomor 5 Tahun 2025 mengatur pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang bertugas melakukan penertiban kawasan hutan melalui berbagai mekanisme, termasuk penagihan sanksi denda administratif dan pidana, penguasaan kembali kawasan hutan, serta pemulihan aset. Eugenia berharap pemerintah tidak serta merta mengambil alih lahan tanpa proses yang jelas dan berkeadilan.
Dampak Ekonomi dari Aktivitas di Lahan Sawit
Banyak lahan sawit yang berada di kawasan hutan telah memiliki aktivitas ekonomi yang melibatkan banyak pihak. Eugenia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengambilalihan lahan secara langsung. "Mereka juga sudah berkontribusi untuk Indonesia. Dulunya hutan, ditanam sawit, sawitnya dijual. Multiplier ekonominya sudah besar," jelasnya. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak ekonomi yang sudah tercipta.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit, sekitar 3,3 juta hektare berada di dalam kawasan hutan. Kondisi ini menuntut solusi yang mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Solusi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
Eugenia mengusulkan musyawarah antara pemerintah dan seluruh pihak terkait di industri sawit untuk mencari jalan terbaik. Jika ada sanksi denda, perhitungannya harus jelas dan transparan. "Intinya jangan sampai menjadi lahan kosong yang tidak ada nilai ekonominya karena diambil alih oleh pemerintah. Jangan sampai nilai ekonominya turun," ujarnya. Pendekatan yang bijak dan berkeadilan sangat penting untuk memastikan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Kesimpulannya, penertiban kawasan hutan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Hal ini penting untuk mencegah kerugian bagi masyarakat dan menjaga iklim investasi yang kondusif di Indonesia. Dialog dan kolaborasi antara pemerintah, industri sawit, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan penertiban kawasan hutan yang berkelanjutan.