Pengajuan Izin Perumahan di Malang Turun, Pengembang Beralih ke Apartemen dan Hotel?
Pengajuan izin pembangunan perumahan di Kota Malang turun drastis di triwulan pertama 2025, mendorong pengembang beralih ke sektor apartemen dan hotel, serta rumah kos untuk mahasiswa.
Pengajuan izin pembangunan perumahan di Kota Malang mengalami penurunan signifikan pada triwulan pertama tahun 2025. Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Disnaker-PMPTSP) Kota Malang, Arif Tri Sastyawan, pada Selasa lalu. Penurunan ini terlihat dari jumlah pengembang yang mengajukan izin, yang hanya enam pada triwulan pertama 2025, jauh lebih rendah dibandingkan dengan 10 pengembang pada periode yang sama di tahun 2024.
Menurut Arif, penyebab utama penurunan ini adalah semakin menipisnya lahan di Kota Malang, yang berdampak pada kenaikan harga tanah. Kondisi ini membuat pembangunan rumah dengan harga di atas Rp500 juta menjadi sulit dipasarkan, sementara pasar yang lebih terjangkau, yaitu di bawah Rp500 juta, sudah cukup kompetitif. Akibatnya, pengembang mencari alternatif investasi lain.
"Investasi perumahan ini pada triwulan pertama 2025 ada penurunan kalau dibanding 2024, jumlahnya yang sekarang enam pengembang dan kalau di triwulan pertama 2024 sudah di angka 10 pengembang perumahan," ungkap Arif. Ia menambahkan bahwa menjual rumah dengan harga Rp500 juta ke atas saat ini cukup sulit, sehingga pengembang beralih ke sektor lain.
Pergeseran Investasi ke Hunian Vertikal dan Properti Komersial
Sebagai respons atas tantangan tersebut, pengembang properti di Kota Malang mulai beralih ke pembangunan hunian vertikal seperti apartemen, dan investasi di sektor properti komersial seperti hotel. Arif menyebutkan bahwa beberapa hotel telah mengajukan izin pembangunan, sementara untuk apartemen, baru ada satu pengajuan namun persyaratannya belum lengkap.
Pergeseran ini mendorong Disnaker-PMPTSP Kota Malang untuk melakukan kajian mendalam terkait dampak pembangunan bangunan vertikal terhadap lingkungan dan sosial masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan pembangunan tetap sesuai dengan tata ruang kota dan tidak menimbulkan masalah baru.
"Hunian vertikal itu harus kami kaji dengan benar mengenai sampai lingkungannya dan sosial. Karena Kota Malang ini masih menjadi tempat favorit untuk tinggal, terutama bagi pensiunan," jelas Arif. Kajian ini melibatkan berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Perhubungan Kota Malang.
Pemkot Malang berupaya untuk mengantisipasi dampak pergeseran investasi ini dengan belajar dari pengalaman kota-kota besar lain, seperti Surabaya, dalam hal perencanaan pembangunan kota yang terintegrasi. "Mau tidak mau harus seperti Surabaya konsepnya pembangunannya," tambah Arif.
Tren Rumah Kos (Rukos) Meningkat
Selain pergeseran ke hunian vertikal dan properti komersial, tren lain yang muncul adalah peningkatan minat masyarakat untuk menjadikan rumah tapak sebagai rumah kos (rukos). Hal ini dinilai sebagai fenomena yang wajar, mengingat banyaknya universitas di Kota Malang yang menciptakan pasar yang besar untuk bisnis kos-kosan.
"Pangsa pasar untuk mahasiswa yang di kota malang ini diambil suatu langkah untuk berinvestasi," kata Arif. Kenaikan minat investasi di sektor rucos ini menunjukkan adanya adaptasi pasar properti terhadap perubahan kebutuhan dan tren di Kota Malang.
Kesimpulannya, penurunan pengajuan izin perumahan di Kota Malang pada triwulan pertama 2025 menunjukkan adanya pergeseran tren investasi di sektor properti. Pengembang beradaptasi dengan keterbatasan lahan dan dinamika pasar dengan beralih ke hunian vertikal, properti komersial, dan bisnis rucos. Pemkot Malang pun berupaya untuk mengantisipasi dampak dari pergeseran ini melalui kajian tata ruang dan perencanaan pembangunan yang matang.