Refleksi Hardiknas: Kesetaraan Belajar bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia
Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kesetaraan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia yang masih jauh dari ideal.
Jakarta, 2 Mei 2024 (ANTARA) - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tahunnya menjadi pengingat pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, sayangnya, suara penyandang disabilitas masih sering terabaikan dalam gema peringatan ini. Akses pendidikan yang setara bagi mereka masih menjadi tantangan besar di Indonesia, negara yang menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Lebih dari 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia (data BPS 2023) menghadapi kesulitan mengakses pendidikan. Hanya sebagian kecil yang mampu menyelesaikan pendidikan dasar, apalagi pendidikan tinggi. Laporan UNICEF dan BAPPENAS (Desember 2023) mengungkap ketidaksetaraan signifikan yang dihadapi anak-anak disabilitas dalam pendidikan, kesehatan, dan inklusi sosial. Meskipun jumlah sekolah inklusif meningkat, peluang mereka untuk bersekolah dan menyelesaikan pendidikan tetap lebih rendah dibandingkan anak-anak tanpa disabilitas.
Kualitas pendidikan yang diterima pun seringkali tidak memadai. Kurangnya fasilitas yang ramah disabilitas di ruang kelas, kurikulum yang kaku, guru yang belum terlatih dalam pedagogi inklusif, serta stigma sosial menjadi hambatan besar. Mirisnya, masyarakat masih sering menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar, melupakan bahwa hak belajar adalah hak asasi manusia, bukan hadiah atau imbalan.
Kesetaraan Akses Pendidikan: Tantangan dan Regulasi
Maniza Zaman, Perwakilan UNICEF Indonesia, menekankan hak setiap anak untuk berkembang, tanpa memandang kemampuan. Namun, anak-anak disabilitas terus menghadapi ketidaksetaraan. Aisyah Wina Putri, pendiri Yayasan Teman Hebat Berkarya, menambahkan bahwa kesenjangan pemahaman tentang disabilitas menjadi hambatan utama. Ia mendorong terciptanya lingkungan belajar inklusif yang mendukung perkembangan optimal setiap individu.
Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi pendukung, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif. Namun, implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak sekolah belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai, tenaga pendidik yang terlatih, dan bahkan masih menolak menerima siswa disabilitas dengan berbagai alasan.
Hardiknas seharusnya menjadi momen refleksi bagi semua pemangku kepentingan. Pendidikan inklusif bukan hanya sekadar menempatkan siswa disabilitas di sekolah umum, tetapi juga mendesain sistem pendidikan yang menghormati keberagaman cara belajar, menyediakan kurikulum fleksibel, dan mempersiapkan guru serta masyarakat untuk menerima perbedaan. Finlandia dan Kanada bisa menjadi contoh negara yang telah sukses mengintegrasikan pendidikan inklusif ke dalam sistem nasional mereka.
Menuju Pendidikan Inklusif yang Nyata
Langkah konkret diperlukan, mulai dari pendanaan afirmatif untuk sekolah inklusif, pelatihan berkelanjutan bagi guru, hingga kampanye publik untuk mengubah persepsi masyarakat. Pemerintah perlu menetapkan target kuota keterlibatan anak disabilitas dalam pendidikan. Namun, tanggung jawab ini bukan hanya milik pemerintah. Masyarakat sipil, media, dunia usaha, dan komunitas pendidikan harus terlibat aktif.
Pendidikan inklusif bukan tentang mengasihani, melainkan merayakan perbedaan sebagai kekayaan bangsa. Hardiknas tidak hanya sebatas upacara seremonial, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Selama masih ada anak disabilitas yang terhalang akses pendidikan, maka negeri ini belum benar-benar berpendidikan. Pendidikan yang sejati adalah yang membebaskan, dan kebebasan itu tidak boleh dimonopoli oleh mereka yang dianggap sempurna.
Di ruang kelas yang adil, semua anak duduk sejajar, bukan karena mereka sama, tetapi karena mereka sama-sama berharga. Inilah makna Hardiknas yang sesungguhnya.