Revisi KUHAP: Keharusan Sinkronisasi dengan KUHP Baru
Wakil Menteri Hukum dan HAM menilai revisi KUHAP mendesak untuk selaraskan sistem peradilan pidana dengan KUHP baru yang berorientasi pada keadilan restoratif dan menjunjung HAM.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Hiariej, menekankan perlunya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menyesuaikannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Hal ini disampaikan dalam Seminar Nasional Kebaharuan KUHP Nasional dan Urgensi Pembaharuan KUHAP di Jakarta, Jumat (21/2). Pernyataan tersebut muncul menyusul disahkannya KUHP baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Wamenkumham menjelaskan bahwa perbedaan mendasar antara kedua sistem hukum ini menuntut adanya harmonisasi agar tercipta sistem peradilan yang adil dan efektif.
KUHP baru, menurut Wamenkumham, bergeser dari paradigma keadilan retributif (balas dendam) menuju keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Perubahan ini membutuhkan sistem peradilan pidana yang lebih menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan berlandaskan prinsip due process of law, atau proses hukum yang adil. Sistem yang lama, berdasarkan crime control model, dinilai kurang sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Perbedaan mendasar antara due process of law dan crime control model terletak pada prioritasnya. Due process of law menekankan kualitas proses hukum, sementara crime control model lebih mengutamakan kuantitas dan efisiensi. Hal ini terlihat jelas dalam pembatasan penahanan, penuntutan, dan persidangan di KUHAP saat ini yang cenderung mengutamakan kecepatan daripada kualitas proses hukum. Wamenkumham juga menyoroti perbedaan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam due process of law dengan asas praduga bersalah (presumption of guilt) dalam crime control model.
Perbedaan Signifikan Antara Due Process of Law dan Crime Control Model
Wamenkumham Edward Hiariej menjelaskan beberapa perbedaan signifikan antara kerangka due process of law dan crime control model dalam sistem peradilan pidana. Dalam hal acara pidana, due process of law memprioritaskan kualitas proses hukum, sedangkan crime control model lebih mementingkan kuantitas dan kecepatan. Ini terlihat pada pembatasan penahanan dalam KUHAP saat ini yang mengadopsi model crime control. Proses penuntutan dan persidangan pun lebih menekankan kuantitas daripada kualitas.
Perbedaan juga terlihat pada asas praduga yang dianut. Due process of law menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, sementara crime control model cenderung berorientasi pada asas praduga bersalah. Hal ini tercermin dalam penangkapan seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, yang menurut Wamenkumham, merupakan strong presumption of guilt. Oleh karena itu, revisi KUHAP dinilai krusial untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih berkeadilan dan sejalan dengan semangat KUHP baru.
Lebih lanjut, Wamenkumham menjelaskan bahwa KUHP saat ini menerapkan penangkapan berdasarkan "diduga keras", yang menurutnya merupakan strong presumption of guilt. Hal ini menunjukkan bahwa KUHAP lama tidak sepenuhnya mengadopsi kerangka due process of law. Oleh karena itu, revisi KUHAP menjadi sangat penting untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih berkeadilan dan sejalan dengan prinsip HAM.
Proses Revisi KUHAP dan Urgensinya
DPR RI telah menyetujui RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi RUU usul inisiatif DPR RI pada Selasa, 18 Februari 2025. Setelah seluruh fraksi partai politik menyampaikan pandangannya, RUU KUHAP masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Komisi III DPR RI menyatakan urgensi pembahasan RUU KUHAP mengingat berlakunya KUHP baru pada 2 Januari 2026. KUHAP sebagai hukum formal perlu selaras dengan KUHP sebagai hukum materiil agar tercipta sistem peradilan pidana yang konsisten dan berkeadilan.
Pembahasan RUU KUHAP melibatkan berbagai narasumber, termasuk Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Proses ini menunjukkan komitmen untuk menghasilkan revisi KUHAP yang komprehensif dan mengakomodasi berbagai perspektif. Revisi ini diharapkan dapat menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih modern, efektif, dan berkeadilan, serta selaras dengan semangat reformasi hukum yang diusung oleh KUHP baru.
Dengan demikian, revisi KUHAP bukan hanya sekadar penyesuaian teknis, tetapi merupakan langkah strategis untuk memastikan sistem peradilan pidana Indonesia mampu menjalankan amanat KUHP baru secara efektif dan berkeadilan. Proses ini menuntut kolaborasi yang erat antara pemerintah dan DPR RI untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas dan mampu menjawab tantangan penegakan hukum di masa depan.
Proses revisi KUHAP ini diharapkan dapat menghasilkan sistem peradilan pidana yang lebih modern, efisien, dan berkeadilan, serta mampu menjamin hak-hak asasi manusia terpenuhi. Dengan demikian, Indonesia dapat memiliki sistem hukum yang lebih baik dan sesuai dengan perkembangan zaman.