Sejoli di Mataram Ditahan, Diduga Lakukan Aborsi dan Tewaskan Bayi
Polresta Mataram menahan sepasang sejoli karena diduga melakukan aborsi yang mengakibatkan bayi meninggal dunia; seorang tersangka lain juga diamankan terkait obat aborsi.
Polresta Mataram, Nusa Tenggara Barat, telah menahan dua sejoli, DR (19) dan FT (24), serta seorang tersangka lain berinisial DI (20), terkait kasus dugaan aborsi yang mengakibatkan kematian bayi. Peristiwa ini bermula dari laporan pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram pada 17 Maret 2025. Pasangan tersebut diduga melakukan aborsi di kamar indekos mereka di wilayah Ampenan dan bayi yang lahir dalam kondisi hidup akhirnya meninggal dunia di RSUD.
Iptu Putu Yulianingsih, Kepala Subnit PPA Satreskrim Polresta Mataram, menjelaskan bahwa penangkapan dilakukan setelah pihaknya menerima laporan dari RSUD. Polisi langsung menuju rumah sakit dan mengamankan DR dan FT. DR, seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi Mataram, mengaku mendapatkan obat aborsi dari DI. Obat tersebut dibeli FT dari DI sebanyak dua kali, dengan harga Rp530.000 dan Rp800.000 untuk dua butir obat.
Menurut keterangan tersangka, setelah mengonsumsi obat tersebut, DR mengalami kontraksi dan melahirkan bayi di kamar indekosnya dengan bantuan FT. Bayi yang lahir dalam keadaan hidup kemudian dilarikan ke Puskesmas Ampenan, lalu dirujuk ke RSUD Kota Mataram, namun sayang nyawanya tak tertolong. Polisi kini tengah menyelidiki asal-usul obat aborsi tersebut, dan DI mengaku mendapatkannya dari seorang kenalan kakaknya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.
Kronologi Kasus Aborsi di Mataram
Kasus ini berawal dari laporan RSUD Kota Mataram terkait dugaan aborsi yang dilakukan oleh sepasang sejoli. DR, sebagai korban, mendapatkan obat aborsi dari DI melalui FT. Setelah mengonsumsi obat tersebut, DR mengalami kontraksi dan melahirkan bayi di kamar indekosnya. Bayi yang lahir dalam keadaan hidup kemudian dibawa ke Puskesmas Ampenan dan selanjutnya dirujuk ke RSUD Kota Mataram, tempat bayi tersebut dinyatakan meninggal dunia.
FT berperan membantu DR selama proses aborsi. Kedua tersangka, DR dan FT, telah mengakui perbuatan mereka. DI, sebagai pemasok obat aborsi, juga telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga tersangka kini ditahan di Rutan Polresta Mataram.
Polisi masih melakukan pengembangan kasus untuk menelusuri lebih lanjut asal-usul obat aborsi tersebut. Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan seorang mahasiswi dan berujung pada kematian bayi yang baru lahir.
Tersangka Terancam Hukuman Berat
Ketiga tersangka, DR, FT, dan DI, dijerat dengan Pasal 77 A ayat (1) junto pasal 45 A Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut mengatur tentang perlindungan anak dan ancaman pidananya cukup berat, yaitu 10 tahun penjara. Hukuman ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menangani kasus aborsi dan perlindungan anak.
Proses hukum terhadap ketiga tersangka masih terus berlanjut. Polisi masih melakukan penyelidikan dan pengembangan untuk mengungkap seluruh jaringan yang terlibat dalam kasus ini. Kasus ini menjadi perhatian publik dan diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang bahaya aborsi dan pentingnya perlindungan anak.
Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan bagi bayi yang menjadi korban dan memberikan efek jera bagi para pelaku. Pengembangan kasus ini juga diharapkan dapat mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Kesimpulan: Kasus aborsi di Mataram ini menyoroti pentingnya edukasi dan pencegahan terkait praktik aborsi ilegal serta perlindungan terhadap anak. Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa depan.