Stafsus Gubernur DKI Jakarta Tanggapi Wacana Gaji Rp10 Juta per KK dari KDM: Salah Hitung?
Stafsus Gubernur DKI Jakarta, Chico Hakim, menanggapi wacana Dedi Mulyadi yang akan memberikan gaji Rp10 juta per KK jika menjadi Gubernur DKI, menyebutnya sebagai salah hitung dan menjelaskan perhitungan APBD DKI Jakarta.
Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Cyril Raoul Hakim atau Chico Hakim, memberikan tanggapan terkait wacana yang dilontarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM). KDM sebelumnya menyatakan akan memberikan gaji sebesar Rp10 juta per kepala keluarga (KK) setiap bulannya jika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pernyataan tersebut menuai tanggapan beragam, termasuk dari Chico Hakim.
Dalam keterangannya di Jakarta, Senin, Chico Hakim menyatakan bahwa perhitungan KDM keliru. "Kang Dedi salah hitung. Apabila 2 juta KK x Rp10 juta/bulan = Rp20 triliun/bulan, Rp20 triliun x 12 bulan = Rp240 triliun/tahun. Mungkin terlalu bersemangat, jadi salah hitung," ujar Chico. Angka tersebut jauh melebihi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta.
Meskipun demikian, Chico Hakim mengapresiasi niat baik KDM yang ingin menyejahterakan warga Jakarta. Hal ini dianggap serupa dengan visi Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. "Tapi prinsipnya niat baik kok. Sama dengan Pak Pram (Pramono Anung) ingin menyejahterakan warganya," tambahnya. Pernyataan ini menunjukkan adanya apresiasi terhadap semangat KDM, meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai realitas anggaran.
Analisa APBD DKI Jakarta
Sebagai informasi tambahan, APBD DKI Jakarta tahun 2025 yang telah disepakati sebesar Rp91,34 triliun. Pemprov DKI Jakarta juga mengklaim telah berhasil melakukan penghematan anggaran hingga Rp1,5 triliun setelah melakukan penyisiran APBD 2025. Langkah ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran, yang kemudian diturunkan menjadi Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 2 Tahun 2025.
Penghematan anggaran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta menunjukkan upaya untuk mengelola keuangan daerah secara efisien dan efektif. Hal ini penting untuk memastikan bahwa anggaran yang tersedia dapat digunakan secara optimal untuk berbagai program pembangunan dan kesejahteraan warga Jakarta. Dengan demikian, wacana pemberian gaji Rp10 juta per KK perlu dikaji ulang mengingat keterbatasan anggaran yang ada.
Perlu diingat bahwa APBD DKI Jakarta memiliki berbagai pos anggaran yang harus dipenuhi, seperti untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan berbagai program lainnya. Pemberian gaji sebesar Rp10 juta per KK akan sangat membebani APBD dan berpotensi mengganggu program-program penting lainnya. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan dan pengelolaan anggaran yang matang agar kesejahteraan warga dapat tercapai secara berkelanjutan.
Wacana KDM di Munas ADPSI
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan wacana tersebut dalam acara Musyawarah Nasional (Munas) Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI) 2025 di Bandung pada Selasa, 6 Mei 2025. Dalam kesempatan tersebut, KDM menyatakan, "Kalau di Jakarta itu dari 10 juta, ada dua juta kepala keluarga. Itu orang Jakarta bisa digaji per kepala keluarga Rp10 juta, karena 10 juta di kali dua juta hanya Rp20 triliun, kalau saya gubernurnya, saya bagi." Pernyataan ini menjadi dasar tanggapan dari Stafsus Gubernur DKI Jakarta.
Pernyataan KDM tersebut perlu dilihat dalam konteks kampanye dan visi politik. Meskipun wacana tersebut menarik perhatian publik, penting untuk mempertimbangkan aspek realitas anggaran dan dampaknya terhadap program-program pembangunan lainnya di DKI Jakarta. Perlu adanya transparansi dan perencanaan yang matang dalam pengelolaan APBD agar kesejahteraan warga dapat terwujud secara berkelanjutan dan terukur.
Kesimpulannya, wacana pemberian gaji Rp10 juta per KK di DKI Jakarta perlu dikaji secara mendalam dan realistis. Perlu mempertimbangkan besarnya APBD DKI Jakarta dan berbagai kebutuhan anggaran lainnya. Meskipun niat baik dari KDM patut diapresiasi, realisasi wacana tersebut dirasa kurang mungkin mengingat keterbatasan anggaran yang ada.