Adik Hendry Lie Didakwa Rugikan Negara Rp300 Triliun dalam Kasus Korupsi Timah
Fandy Lingga, adik Hendry Lie, didakwa terlibat kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, dengan peran kunci dalam pertemuan-pertemuan yang mengatur kerja sama smelter swasta dengan PT Timah.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa Fandy Lingga, marketing PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2008-2018 dan adik terdakwa Hendry Lie, terlibat kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun. Dakwaan dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa. Perbuatan Fandy meliputi berbagai pertemuan dan kesepakatan yang merugikan keuangan negara dan memperkaya pihak-pihak tertentu.
Menurut JPU Feraldy Abraham Harahap, Fandy secara aktif mewakili PT TIN dalam beberapa pertemuan krusial. Pertemuan-pertemuan ini membahas kerja sama smelter swasta dengan PT Timah Tbk, melibatkan petinggi PT Timah dan pemilik smelter swasta. Fandy diduga berperan dalam memfasilitasi kesepakatan yang merugikan negara.
Atas perbuatannya, Fandy dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman yang dihadapi Fandy cukup berat, mengingat besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakannya.
Pertemuan-Pertemuan Kunci dan Peran Fandy Lingga
JPU merinci sejumlah pertemuan yang dihadiri Fandy, di antaranya di Griya PT Timah dan Hotel Novotel Pangkalpinang. Dalam pertemuan tersebut, Fandy berinteraksi dengan Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Operasi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar, serta 30 pemilik smelter swasta. Mereka membahas permintaan bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter swasta, yang berasal dari IUP PT Timah.
Pertemuan lain dilakukan di Restoran Sofia, Hotel Gunawarman Jakarta Selatan. Pertemuan ini melibatkan Fandy, General Manager Operasional PT TIN Rosalina, direksi PT Timah (Mochtar, Alwin, dan Eko Junianto), dan perwakilan smelter swasta (PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa). Mereka membahas perjanjian kerja sama sewa peralatan processing penglogaman.
Fandy, atas perintah Hendry Lie, pemilik manfaat PT TIN, memerintahkan Rosalina membuat surat penawaran kerja sama sewa alat pengolahan timah kepada PT Timah. Menariknya, smelter swasta yang terlibat ternyata tidak memiliki competent person, dan konsep surat penawaran telah dibuat oleh PT Timah. Hal ini menunjukkan adanya manipulasi dan pengaturan.
Pembentukan Perusahaan Boneka dan Transaksi Ilegal
JPU juga mengungkapkan keterlibatan Fandy dalam pembentukan perusahaan boneka, yaitu CV Bukit Persada Raya dan CV Sekawan Makmur Sejati. Perusahaan-perusahaan ini berperan sebagai mitra jasa borongan yang diberi Surat Perintah Kerja (SPK) pengangkutan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Bijih timah tersebut kemudian dijual kepada PT Timah.
Fandy, bersama Rosalina dan Hendry Lie, melalui PT TIN dan afiliasinya, menerima pembayaran bijih timah dari PT Timah. Mereka mengetahui bahwa bijih timah tersebut berasal dari penambang ilegal. Selain itu, mereka juga menerima pembayaran atas kerja sama sewa peralatan pengolahan penglogaman timah, yang harganya diketahui kemahalan.
Lebih lanjut, Fandy menyetujui negosiasi antara Harvey Moeis (perwakilan smelter swasta) dan PT Timah terkait sewa smelter tanpa studi kelayakan. Mereka juga menyetujui pembayaran biaya pengamanan kepada Harvey, yang disamarkan sebagai dana CSR.
Manipulasi dan Penggelapan dalam Kerja Sama
Fandy dan Rosalina, mewakili PT TIN, bersama empat smelter swasta lainnya, bekerja sama dengan PT Timah untuk melegalkan pembelian bijih timah dari penambangan ilegal. Mereka menerbitkan SPK di wilayah IUP PT Timah, meskipun kerja sama sewa peralatan pengolahan penglogaman timah tidak tertuang dalam RKAB PT Timah maupun RKAB lima smelter dan afiliasinya.
Harga sewa peralatan processing penglogaman timah disepakati tanpa kajian yang memadai, dengan harga 4.000 per ton untuk PT RBT dan 3.700 per ton untuk empat smelter lainnya. Bahkan, kajian dibuat secara mundur. Terakhir, Fandy dan Rosalina juga diduga mengetahui dan menyetujui penerimaan biaya pengamanan melalui Helena Lim, pemilik PT Quantum Skyline Exchange, yang kemudian diserahkan kepada Harvey.
Kesimpulannya, dakwaan terhadap Fandy Lingga mengungkap skema korupsi yang kompleks dan terorganisir. Perannya sebagai perantara dan fasilitator dalam berbagai kesepakatan yang merugikan negara menjadi bukti kuat keterlibatannya dalam kasus korupsi timah ini. Proses hukum selanjutnya akan mengungkap lebih detail peran Fandy dan para pihak yang terlibat.