Ahli: Mustahil Partisipasi Pemilih Pilkada Mimika 100 Persen, Ada Dugaan Kecurangan
Mantan Ketua Bawaslu menilai mustahil partisipasi pemilih mencapai 100 persen dalam Pilkada Mimika 2024, dan menduga adanya kecurangan terkait penggunaan surat suara cadangan serta rendahnya transparansi.
![Ahli: Mustahil Partisipasi Pemilih Pilkada Mimika 100 Persen, Ada Dugaan Kecurangan](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/11/191623.418-ahli-mustahil-partisipasi-pemilih-pilkada-mimika-100-persen-ada-dugaan-kecurangan-1.jpeg)
Jakarta, 11 Februari 2024 - Sidang sengketa Pilkada Mimika 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti fenomena unik: partisipasi pemilih yang mencapai, bahkan melampaui, 100 persen. Mantan Ketua Bawaslu RI, Bambang Eka Cahya Widodo, yang menjadi ahli dari pihak pemohon, menyatakan hal tersebut hampir mustahil terjadi.
Bambang menjelaskan, angka partisipasi pemilih di atas 100 persen dalam Pilkada Mimika patut dicurigai sebagai indikasi pelanggaran serius. Hal ini bertentangan dengan asas pemilu yang menjunjung tinggi prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil).
Mengapa 100 Persen Partisipasi Pemilih Dianggap Mustahil?
Penjelasan Bambang didasari pada fakta bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) ditetapkan 30 hari sebelum pemungutan suara. Dalam rentang waktu tersebut, dimungkinkan adanya pemilih yang meninggal dunia, pindah domisili, atau berubah status (misalnya, menjadi anggota TNI/Polri). Oleh karena itu, mustahil seluruh pemilih dalam DPT hadir dan memberikan suara.
Lebih lanjut, Bambang menyoroti penggunaan surat suara cadangan sebesar 2,5 persen dari total surat suara. Penggunaan surat suara cadangan ini, menurutnya, harus sesuai dengan data surat suara rusak atau salah coblos, serta pemilih yang pindah memilih di tempat pemungutan suara (TPS) yang berbeda. Jika data tersebut tidak cocok, maka penggunaan surat suara cadangan tersebut patut diduga sebagai penyalahgunaan hak pilih dan melanggar prinsip one person, one vote, one value.
Rendahnya Akuntabilitas dan Transparansi
Bambang juga menekankan bahwa partisipasi pemilih 100 persen mencerminkan rendahnya akuntabilitas dan transparansi dalam proses pemilihan. Ketiadaan data yang lengkap terkait kehadiran pemilih, jumlah surat suara, surat suara rusak, dan pemilih yang pindah TPS semakin memperkuat dugaan adanya manipulasi.
Ia menambahkan, "Jika catatan kehadiran pemilih rendah dalam pilkada, maka kehadiran pemilih 100 persen harus diteliti secara cermat oleh Mahkamah, apakah murni karena peningkatan partisipasi atau justru menunjukkan manipulasi yang terang-terangan."
Sengketa Pilkada Mimika 2024
Sengketa Pilkada Mimika 2024 ini teregistrasi dengan nomor 272/PHPU.BUP-XXIII/2025. Pemohon, pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2, Maximus Tipagau dan Peggi Patricia Pattipi, mendalilkan adanya pelanggaran karena partisipasi pemilih di 11 distrik melebihi 100 persen. Mereka menduga hal ini berpengaruh terhadap perolehan suara pasangan calon nomor urut 1, Johannes Rettob dan Emanuel Kemong.
Pasangan Maximus-Peggi menjelaskan bahwa dari 18 distrik di Mimika, 11 distrik memiliki surat suara yang melebihi jumlah DPT, satu distrik sama dengan jumlah DPT, dan enam distrik lainnya mendekati 100 persen jumlah DPT. Mereka menduga adanya kecurangan dalam penggunaan surat suara dan meminta MK untuk menyelidiki lebih lanjut.
Kesimpulan
Kesimpulannya, pernyataan ahli dari mantan Ketua Bawaslu ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas proses Pilkada Mimika 2024. Angka partisipasi pemilih yang melampaui 100 persen, dibarengi dengan kurangnya transparansi data, menunjukkan potensi adanya kecurangan yang perlu diselidiki lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi. Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat dan transparansi dalam setiap tahapan proses pemilu untuk memastikan prinsip keadilan dan integritas pemilu terjaga.