Album "Jalan Suara": Kolaborasi Seni Bali dan Komunitas Tunanetra Hadirkan Musikalisasi Puisi
Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan komunitas tunanetra meluncurkan album digital "Jalan Suara", musikalisasi puisi yang mengeksplorasi tema sosial, spiritual, dan kearifan lokal Bali.

Badung, Bali, 6 Mei 2024 (ANTARA) - Sebuah kolaborasi unik antara Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan komunitas disabilitas tunanetra di Bali telah menghasilkan album digital musikalisasi puisi yang diberi judul "Jalan Suara". Album ini diluncurkan pada Selasa, menandai langkah penting dalam seni inklusif di Indonesia. Album ini memadukan ekspresi sastra dan musik, diwujudkan oleh para seniman yang merasakan dunia melalui indera pendengaran dan perasaannya.
"Album ini menjadi penanda penting dalam praktik seni inklusif di Indonesia, di mana ekspresi sastra dan musik bersatu dalam karya yang dilahirkan oleh mereka yang melihat dunia bukan lewat mata, melainkan lewat rasa dan suara," ujar Ketua Yayasan Kesenian Sadewa Bali, Ryan Indra Darmawan. Album "Jalan Suara" tersedia di platform digital seperti Spotify dan YouTube Music, menyajikan sepuluh musikalisasi puisi, lima dalam Bahasa Indonesia dan lima dalam Bahasa Bali.
Pemilihan puisi-puisi tersebut didasarkan pada nilai estetika dan relevansi temanya dengan isu sosial, spiritual, dan kearifan lokal Bali. Kolaborasi ini bukan yang pertama kalinya bagi Yayasan Kesenian Sadewa Bali; pada tahun 2019, mereka telah sukses menggelar pentas drama musikal yang melibatkan penyandang disabilitas. Album "Jalan Suara", yang didanai oleh Dana Indonesiana, merupakan kelanjutan dari komitmen tersebut, dengan puncak acara berupa pementasan musikalisasi puisi pada 11 Mei di Gedung Dharma Negara Alaya, Denpasar.
Puisi-Puisi yang Diangkat dalam Album Jalan Suara
Album "Jalan Suara" menampilkan beragam puisi yang dipilih secara cermat. Puisi-puisi berbahasa Indonesia yang dimuat meliputi: "Dongeng dari Utara" karya Made Adnyana Ole, "Di Musim yang Lain, Aku Kembali" oleh Ulfatin C. H., "Surat Kertas Hijau" oleh Sitor Situmorang, "Pada Kematian Aku Bernaung" oleh Cok Sawitri, dan "Satu Perahu" oleh Wayan Jengki Sunarta. Sementara itu, puisi-puisi berbahasa Bali yang diaransemen meliputi: "Petapa Aksara" oleh Mas Ruscita Dewi, "Blabar Momo" oleh Ni Kadek Widiasih, "Gending Pragina" oleh Tatukung, "Kayu Cenana" oleh Ki Dusun, dan "Kangen" oleh Made Sanggra.
Proses pemilihan puisi ini mempertimbangkan nilai estetika dan juga kedekatannya dengan tema-tema yang relevan dengan masyarakat Bali. Komitmen untuk menampilkan karya-karya yang bermakna dan mewakili kekayaan budaya lokal menjadi salah satu prioritas dalam proyek ini.
"Kami percaya teman-teman netra punya kekuatan dalam hal suara dan rasa. Ketika mereka diberi ruang, hasilnya selalu mengejutkan," ungkap Ryan Indra Darmawan. Hal ini menunjukkan keyakinan yayasan terhadap potensi dan kreativitas para seniman tunanetra.
Proses Kreatif dan Pendampingan
Ketua Yayasan Pendidikan Dria Raba, Ida Ayu Pradnyani Manthara, menjelaskan bahwa proyek ini tidak hanya bertujuan untuk memperkenalkan dunia seni kepada siswa-siswa tunanetra, tetapi juga untuk memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang tanpa tekanan. Proses kreatif dilakukan dengan penuh dukungan dan pendampingan.
"Kami tidak pernah memaksa. Mereka bebas memilih alat musik yang mereka suka. Kami hanya mendampingi, menyediakan pelatih, dan membiarkan mereka mengekspresikan diri. Dan ternyata, banyak yang awalnya asing dengan puisi kini bisa membacakannya dengan begitu dalam," kata Ida Ayu Pradnyani Manthara. Hal ini menekankan pentingnya pendekatan yang inklusif dan menghargai proses belajar masing-masing individu.
Proses kolaboratif ini menunjukkan bagaimana dukungan dan kesempatan yang tepat dapat mendorong kreativitas dan bakat terpendam. Para seniman tunanetra diberikan kebebasan bereksplorasi dan mengekspresikan diri melalui musik dan puisi, menghasilkan karya seni yang inspiratif dan mengharukan.
Peluncuran album "Jalan Suara" bukan hanya sekadar perilisan karya musik, tetapi juga sebuah pernyataan tentang potensi inklusi dalam dunia seni. Ini menjadi bukti bahwa seni dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan perbedaan dan merayakan keberagaman.