BPKH Usul Revisi UU untuk Perkuat Pengelolaan Dana Haji
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mendorong revisi UU agar pengelolaan dana haji lebih aman, adil, dan berkelanjutan, serta memberikan manfaat optimal bagi umat.

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) meminta dukungan revisi Undang-Undang (UU) tentang Pengelolaan Keuangan Haji guna memperkuat pengelolaan dana haji. Hal ini disampaikan Kepala Pelaksana BPKH, Fadlul Imansyah, di Jakarta pada Senin, 10 Maret. Permintaan ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk memastikan pengelolaan dana haji yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Revisi UU ini dinilai krusial untuk mencapai tujuan tersebut.
Revisi UU Keuangan Haji dibahas bersamaan dengan revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, seiring dengan pembentukan Badan Penyelenggara Haji (BPH). Fadlul menekankan pentingnya penguatan regulasi untuk menjamin pengelolaan dana haji yang optimal dan transparan. Ia menyatakan, "Dengan penguatan regulasi, BPKH dapat memastikan pengelolaan dana haji yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh umat Islam di Indonesia."
Langkah ini diambil untuk memastikan pengelolaan dana haji yang bertanggung jawab dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh calon jamaah haji. Saat ini, dana haji dikelola dengan prinsip aman, transparan, akuntabel, dan sesuai syariah, seperti yang ditegaskan oleh Anggota Badan Pelaksana Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas BPKH, Indra Gunawan.
Tantangan dan Inovasi Pengelolaan Dana Haji
Meskipun BPKH telah menerapkan strategi investasi yang hati-hati dan inovasi berkelanjutan, masih ada tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah keterbatasan regulasi yang mengatur operasional BPKH. Berdasarkan UU No. 34/2014, BPKH beroperasi tanpa modal awal, saham, ekuitas, atau cadangan kerugian dari laba bersih, berbeda dengan perseroan terbatas yang wajib menyisihkan 20 persen laba untuk cadangan. Hal ini diungkapkan oleh Indra Gunawan.
Revisi UU diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan tersebut. Salah satu usulannya adalah agar BPKH dapat mengalokasikan "dana cadangan", misalnya dari Dana Abadi Umat (DAU) yang saat ini mencapai Rp3,86 triliun. Dana cadangan ini akan memperkuat ketahanan keuangan BPKH dalam menghadapi berbagai risiko.
Sebagai bentuk keadilan bagi 5,5 juta calon jamaah yang masih dalam antrean, BPKH juga telah menghadirkan inovasi rekening virtual. Sejak 2018, penyaluran dana bagi jamaah yang menunggu telah mencapai Rp18,3 triliun pada 2025, meningkat dari Rp800 miliar pada 2018. Saldo setoran awal jamaah juga meningkat dari Rp25 juta menjadi sekitar Rp28 juta.
Kinerja dan Manfaat Dana Haji
BPKH mencatat peningkatan tingkat pengembalian investasi dari 5,45 persen pada 2018 menjadi 6,9 persen pada akhir 2024. Peningkatan ini menunjukkan kinerja pengelolaan dana haji yang positif dan memberikan kontribusi signifikan bagi jamaah berangkat dan jamaah calon haji yang masih menunggu. Selain itu, Dana Abadi Umat (DAU) senilai Rp3,86 triliun dikelola untuk program kemaslahatan umat, seperti bantuan bencana, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
Indra Gunawan menambahkan, "Saldo setoran awal jamaah yang semula Rp25 juta kini tumbuh menjadi sekitar Rp28 juta, membuktikan bahwa BPKH terus berupaya menghadirkan manfaat bagi seluruh calon haji, baik yang sudah berangkat maupun yang masih menunggu." Pengelolaan keuangan syariah ini terbukti memberikan manfaat luas bagi umat dan negara.
Dengan revisi UU, diharapkan pengelolaan dana haji akan semakin kuat dan berkelanjutan, menjamin kebermanfaatannya bagi seluruh umat Islam di Indonesia, baik yang telah menunaikan ibadah haji maupun yang masih menunggu giliran. Penguatan regulasi ini menjadi kunci keberhasilan dalam mengelola amanah umat dan memastikan pengelolaan dana haji yang transparan dan akuntabel.