China Kecam Tarif AS, Tapi Buka Peluang Negosiasi Dagang
China mengecam keras tarif baru AS untuk baja dan aluminium, namun tetap menyatakan kesediaannya bernegosiasi untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan.

Beijing, 13 Maret 2025 - Pemerintah China melontarkan kecaman keras terhadap kebijakan Amerika Serikat yang memberlakukan tarif baru pada impor baja dan aluminium dari seluruh negara, termasuk pungutan dagang lainnya. Namun, di tengah kecaman tersebut, China tetap menunjukkan sikap terbuka untuk melakukan negosiasi guna mencari solusi atas perselisihan perdagangan yang semakin memanas ini.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, dalam konferensi pers di Beijing pada Rabu (12/3), menyatakan, "China percaya bahwa proteksionisme tidak akan menghasilkan apa pun, dan perang tarif dagang tidak akan menghasilkan pemenang. Kami percaya bahwa cara yang tepat adalah dengan mengatasi masalah satu sama lain melalui dialog dan konsultasi atas dasar kesetaraan dan rasa saling menghormati."
Pernyataan tersebut muncul sebagai respons atas keputusan Presiden Trump yang secara resmi memberlakukan tarif 25 persen atas semua impor baja dan aluminium ke AS pada Rabu (12/3). Langkah ini, menurut Trump, bertujuan untuk membantu menciptakan lapangan kerja di pabrik-pabrik AS. Meskipun kebijakan ini berlaku untuk semua negara, dampaknya akan sangat signifikan bagi Kanada, yang memasok sekitar 50 persen impor aluminium dan 20 persen impor baja ke AS.
Dampak Tarif AS terhadap China dan Negara Lain
Selain Kanada, pemasok baja utama lainnya ke AS termasuk Brasil dan Meksiko, sementara Uni Emirat Arab dan Korea Selatan termasuk di antara pemasok aluminium teratas. Namun, dampak kebijakan tarif AS ini juga dirasakan oleh China. Sejak awal Februari 2025, Trump telah mengenakan tarif 10 persen untuk hampir semua produk impor dari China, yang kemudian dinaikkan menjadi 20 persen pada 4 Maret 2025. Trump mengklaim tindakan ini dimaksudkan untuk menekan China agar mengurangi distribusi fentanil ke AS.
Menanggapi kebijakan tersebut, Mao Ning menegaskan, "Apa yang dilakukan AS sangat melanggar aturan WTO, merusak sistem perdagangan multilateral berbasis aturan, dan tidak bermanfaat untuk menyelesaikan masalah. China akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan hak dan kepentingannya yang sah."
Lebih lanjut, Mao Ning menekankan bahwa hubungan dagang China-AS harus didasarkan pada interaksi dua arah dan timbal balik. "Kerja sama akan menghasilkan keuntungan bersama dan saling menguntungkan, dan China pasti akan mengambil tindakan balasan sebagai tanggapan terhadap tekanan yang sewenang-wenang," tegasnya.
Tindakan Balasan China dan Potensi Negosiasi
Sebagai bentuk balasan atas tindakan AS, China telah mengenakan tarif terhadap sejumlah produk pertanian asal AS pada Senin (10/3). Rincian pungutan yang diberlakukan meliputi tarif 15 persen untuk produk seperti ayam, gandum, dan jagung, serta 10 persen pada produk-produk seperti kacang kedelai, daging babi, daging sapi, dan buah-buahan. Sebelumnya, pada awal Februari 2025, China juga telah mengenakan tarif 10 persen terhadap gas alam, batu bara, dan peralatan pertanian yang dibeli dari AS.
Meskipun ketegangan perdagangan meningkat, baik Beijing maupun Washington memberikan isyarat akan adanya kemungkinan untuk berkompromi. Menteri perdagangan China telah mengundang pihak AS untuk bertemu, sementara Trump bulan lalu menyatakan bahwa kesepakatan perdagangan baru dengan China "mungkin saja terjadi."
China mengirimkan barang ke AS senilai sekitar 440 miliar dolar AS setiap tahunnya. Tarif rata-rata untuk barang-barang China di AS saat ini mencapai 39 persen, naik dari 3 persen ketika Trump berkuasa pertama kali delapan tahun lalu. Situasi ini menunjukkan kompleksitas hubungan perdagangan antara kedua negara adidaya tersebut dan perlunya solusi yang adil dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Perkembangan selanjutnya dalam negosiasi perdagangan antara China dan AS akan sangat menentukan arah hubungan ekonomi global di masa mendatang. Baik China maupun AS memiliki kepentingan untuk mencapai kesepakatan yang dapat mengurangi ketegangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.