DKPP Sidang Bawaslu Tana Toraja: 801 Pemilih Terancam Hilang Hak Pilih, Data Tak Terbukti
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang terhadap anggota Bawaslu Tana Toraja yang diduga menyebarkan informasi hoaks soal 801 pemilih terancam kehilangan hak pilih di Pilkada 2024.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tengah menyidang anggota Bawaslu Kabupaten Tana Toraja, Theofilus Lias Limongan, terkait pernyataannya yang menyebutkan 801 orang terancam kehilangan hak pilih dalam Pilkada Serentak 27 November 2024. Sidang yang digelar di Kantor Bawaslu Sulsel, Makassar, pada Jumat lalu, mengungkap fakta mengejutkan terkait asal-usul data tersebut.
Anggota Majelis Pemeriksa DKPP, Upi Hastati, mempertanyakan validitas data 801 pemilih tersebut. Pertanyaan "Dari mana data 801 orang itu yang disebut berpotensi kehilangan hak pilih dalam Pilkada Tana Toraja 2024?" menjadi sorotan utama sidang. Terungkap bahwa data tersebut hanya berupa daftar nama tanpa bukti pendukung yang valid.
Sidang ini dipicu oleh laporan Ruben Embatau yang menilai pernyataan Theofilus sebagai penyebaran informasi tidak benar atau hoaks. Pernyataan tersebut dianggap menimbulkan keresahan di masyarakat, mengingat pentingnya hak pilih setiap warga negara dalam proses demokrasi. Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu.
Data 801 Pemilih: Tanpa Bukti dan Hanya Nama
Dalam kesaksiannya, Theofilus Limongan mengakui bahwa data 801 pemilih yang berpotensi kehilangan hak pilih hanya berupa nama-nama tanpa dilengkapi bukti pendukung. Ia menyatakan, "Saya tidak memiliki data pendukung, hanya nama-nama saja." Pengakuan ini semakin memperkuat dugaan penyebaran informasi yang tidak akurat.
Majelis DKPP kemudian mempertanyakan syarat-syarat untuk menjadi pemilih yang sah. Theofilus menjawab bahwa terdapat 11 elemen yang harus dipenuhi. Ia juga menjelaskan bahwa setelah penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS), Bawaslu Tana Toraja masih dalam proses mencari bukti pendukung atas nama-nama yang telah disebutkan.
Ketua Bawaslu Kabupaten Tana Toraja, Elis Mangesa, mengaku baru mengetahui informasi mengenai 801 pemilih tersebut setelah pemberitaan di media massa. "Pada tanggal 11 Agustus 2024 saya mengetahui terkait dengan 801 orang itu. Itu pun setelah mendapat telepon dari Kordiv Data KPU dan pesan WhatsApp dari teman-teman media," jelasnya.
Elis juga menegaskan bahwa informasi tersebut merupakan pendapat pribadi Theofilus, bukan pernyataan resmi lembaga Bawaslu Kabupaten Tana Toraja. Hal ini semakin menguatkan argumen pengadu terkait dugaan penyebaran informasi yang tidak benar.
Pentingnya Akurasi Data Pemilih dan Akuntabilitas Penyelenggara Pemilu
Anggota Majelis/TPD Provinsi Sulawesi Selatan dari unsur masyarakat, Fauzia P. Bakti, menekankan keseriusan masalah tersebut. Ia menyatakan bahwa kehilangan hak pilih satu orang saja sudah merupakan hal yang serius, apalagi jika menyangkut 800 orang. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya keakuratan data pemilih dalam proses demokrasi.
Kasus ini menjadi sorotan tajam terhadap pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu. Setiap informasi yang disampaikan oleh penyelenggara pemilu harus didukung bukti yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini untuk mencegah penyebaran informasi yang tidak akurat dan menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Sidang DKPP ini menjadi momentum untuk menegaskan komitmen terhadap penyelenggaraan pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Keakuratan data pemilih menjadi kunci utama dalam memastikan setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya tanpa hambatan.
Selain Theofilus Lias Limongan, sidang juga melibatkan Ketua Bawaslu Provinsi Sulsel, Madiana Rusli, yang diduga menyalahgunakan jabatannya untuk mengintimidasi KPU Kabupaten Tana Toraja dalam rekapitulasi DPS tingkat provinsi. Sekretaris DKPP, David Yama, menyatakan bahwa sidang dengan Perkara Nomor 321-PKE-DKPP/XII/2024 bertujuan untuk mendengarkan keterangan dari semua pihak terkait.
Kesimpulannya, sidang DKPP ini menyoroti pentingnya verifikasi data pemilih yang akurat dan akuntabilitas penyelenggara pemilu dalam menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia. Peristiwa ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi seluruh penyelenggara pemilu untuk selalu berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi kepada publik.