DPR Minta Pemerintah Turun Tangan Atasi Kekerasan Seksual Unsoed: Kasus Guru Besar Cerminkan Relasi Kuasa Timpang
DPR RI mendesak pemerintah segera bertindak mengatasi kasus kekerasan seksual Unsoed yang melibatkan guru besar, menyoroti relasi kuasa dan pentingnya perlindungan korban.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan konkret terkait dugaan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah. Kasus ini, yang diduga melibatkan seorang guru besar dan menimpa mahasiswi, telah menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai pihak.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyatakan bahwa kekerasan seksual di institusi pendidikan merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Insiden ini tidak hanya berdampak buruk pada korban secara personal, tetapi juga merusak iklim akademik yang seharusnya aman dan mendukung proses belajar mengajar.
Desakan ini muncul setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed juga menyuarakan tuntutan serupa, mendorong pihak kampus untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Peristiwa ini kembali menyoroti urgensi penanganan serius terhadap isu kekerasan seksual di perguruan tinggi, terutama yang melibatkan relasi kuasa antara pendidik dan peserta didik.
Desakan Tegas dari Parlemen
Hetifah Sjaifudian mengungkapkan keprihatinan dan kemarahannya atas kembali terulangnya dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Dia menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya mencoreng citra dunia pendidikan, melainkan juga menunjukkan kerentanan penyalahgunaan relasi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa.
DPR RI mendorong evaluasi internal yang komprehensif terhadap tata kelola kampus, termasuk mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Selain itu, Hetifah juga mendesak rektorat Unsoed dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) wilayah setempat untuk bertindak cepat dan tidak melindungi pelaku dengan alasan jabatan akademik.
Penyelesaian kasus ini, menurutnya, harus berlandaskan pada kerangka hukum yang ada. Hal ini mencakup Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kedua regulasi tersebut secara tegas mengatur pencegahan, penindakan pelaku, dan pemulihan korban, termasuk dalam konteks relasi kuasa di lingkungan kampus.
Komisi X DPR RI menyatakan kesiapannya untuk mengawal penerapan Permendikbudristek 30/2021 dan pelaksanaan UU TPKS di lingkungan pendidikan terkait kasus ini. Mereka mendesak semua perguruan tinggi untuk tidak ragu menindak tegas pelaku kekerasan seksual tanpa pandang bulu, termasuk jika melibatkan pejabat atau guru besar, demi menghentikan budaya diam dan pembiaran.
Solidaritas Mahasiswa dan Tuntutan Keadilan
Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto telah mendesak pihak kampus untuk segera mengusut tuntas dugaan kasus kekerasan seksual ini. Kasus tersebut diduga melibatkan seorang oknum guru besar terhadap mahasiswi di lingkungan kampus tersebut.
Presiden BEM Unsoed, Muhammad Hafidz Baihaqi, mengonfirmasi bahwa sejumlah mahasiswa telah menggelar aksi solidaritas di Kampus Unsoed. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian mahasiswa terhadap penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, meskipun tidak dilakukan atas nama lembaga BEM secara resmi.
Hafidz Baihaqi menegaskan bahwa aksi tersebut merupakan inisiatif mahasiswa yang menuntut penegakan keadilan bagi korban. Mereka mendesak kampus untuk memproses dugaan pelecehan seksual ini secara adil, transparan, dan berpihak pada korban. BEM Unsoed juga menyatakan dukungan penuh terhadap kerja-kerja Satgas PPKS Unsoed dalam menangani kasus ini.