Imigrasi Soetta Gagalkan Tiga WN Pakistan Gunakan Paspor Palsu Prancis
Tiga warga negara Pakistan tertangkap imigrasi Bandara Soetta karena menggunakan paspor dan kartu identitas Prancis palsu untuk menuju Eropa; mereka membeli paspor palsu tersebut dari seorang WN Sri Lanka melalui Facebook.

Petugas imigrasi Bandara Internasional Soekarno-Hatta berhasil menggagalkan upaya tiga warga negara (WN) Pakistan untuk memasuki Indonesia dengan menggunakan paspor dan kartu identitas Prancis palsu. Ketiga WN Pakistan, berinisial SZR, TS, dan MZ, tiba di Terminal 3 Bandara Soetta pada Rabu, 12 Februari 2024, dari Bangkok, Thailand. Mereka awalnya tidak terdeteksi autogate karena paspor yang digunakan diduga palsu.
Perjalanan dan Penangkapan
Perjalanan mereka dimulai dari Lahore, Pakistan, menuju Bangkok, lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Tujuan utama mereka sebenarnya adalah Eropa. Saat pemeriksaan imigrasi, paspor mereka gagal terbaca oleh mesin autogate. Kegagalan berulang ini menimbulkan kecurigaan petugas imigrasi.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi Jakarta, Arief Munandar, menjelaskan kronologi penangkapan dalam konferensi pers di Kantor Ditjen Imigrasi, Jakarta. Petugas imigrasi curiga karena ketiga WN Pakistan tersebut mengaku sebagai WN Prancis, tetapi tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Prancis maupun Inggris. Pemeriksaan lebih lanjut pun dilakukan.
Pemeriksaan dan Pengungkapan
Pemeriksaan di ruangan supervisor riksa menemukan ketidaksesuaian data. Sistem Informasi Profil Penumpang (SIPP) menunjukkan bahwa mereka adalah WN Pakistan, bukan Prancis. Lebih lanjut, petugas menemukan tiga paspor Pakistan asli milik ketiganya. Hal ini semakin menguatkan kecurigaan petugas imigrasi.
Kasus ini kemudian ditangani oleh penyidik Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Soekarno-Hatta. Hasil penyelidikan mengungkap bahwa SZR, TS, dan MZ berencana menuju Eropa dan memperoleh paspor Prancis palsu dari seorang WN Sri Lanka berinisial WJ. Mereka membayar US$1000 atau sekitar Rp17 juta kepada WJ yang mereka kenal melalui Facebook.
Modus Operandi dan Dakwaan
WJ menyarankan mereka transit di Indonesia sebelum ke Eropa, menggunakan paspor Pakistan di Thailand, dan mengganti dengan paspor Prancis di Indonesia. Tujuannya agar mereka terlihat sebagai WN Prancis dan memudahkan perjalanan ke Prancis, dengan memanfaatkan stempel kedatangan di Indonesia sebagai persyaratan tambahan.
Ketiga WN Pakistan tersebut kini menghadapi dakwaan atas dugaan tindak pidana keimigrasian, yaitu penggunaan dokumen perjalanan palsu. Mereka dijerat dengan Pasal 119 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp500 juta.
Kesimpulan
Kasus ini menyoroti pentingnya kewaspadaan dan pengawasan ketat di perbatasan untuk mencegah masuknya individu yang menggunakan dokumen palsu. Kerja sama internasional juga krusial untuk membongkar jaringan pembuatan paspor palsu internasional. Keberhasilan pengungkapan kasus ini menunjukkan efektivitas sistem pengawasan imigrasi Indonesia.