Kasus Eks Kapolres Ngada: Edukasi Privasi Tubuh Anak Jadi Sorotan
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada menyoroti pentingnya edukasi privasi tubuh anak dan perlindungan terhadap kekerasan seksual.

Jakarta, 19 Maret 2025 - Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (FWLS), terhadap tiga anak di bawah umur dan seorang perempuan dewasa, telah mengemuka dan menjadi sorotan nasional. Peristiwa yang terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan publik, tetapi juga mendorong Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamendukbangga), Ratu Isyana Bagoes Oka, untuk menekankan pentingnya edukasi privasi tubuh bagi anak-anak sebagai upaya pencegahan.
Wamendukbangga menyatakan bahwa kasus ini menjadi pembelajaran berharga tentang bagaimana pentingnya mengajarkan anak-anak untuk mengenali dan melindungi bagian tubuh pribadi mereka. "Kasus yang ramai saat ini terkait kapolres melakukan pelecehan kepada anak di bawah umur, Kemendukbangga bisa masuk dengan membuat bagaimana cara mendidik anak supaya tahu bagian pribadi tubuhnya," ungkap Wamendukbangga dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu.
Ia menambahkan bahwa edukasi ini harus mencakup pemahaman tentang mana bagian tubuh yang boleh disentuh dan mana yang tidak, serta bagaimana cara mengenali dan melaporkan jika terjadi kekerasan seksual. Hal ini menjadi bagian integral dari pendidikan anak untuk melindungi mereka dari potensi bahaya.
Edukasi Kekerasan Seksual pada Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemendukbangga) melalui program percepatannya, salah satunya Super Apps 'Keluarga Indonesia', berupaya memberikan edukasi kepada generasi muda, khususnya milenial dan Gen Z, terkait kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual. Aplikasi ini diharapkan dapat menjangkau lebih banyak anak muda dan memberikan informasi yang dibutuhkan.
Kementerian PPPA juga turut aktif dalam menangani kasus ini. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, menyatakan bahwa penyidik perlu mendalami kemungkinan adanya tiga pelaku lain yang terlibat. "Untuk kasus eks Kapolres Ngada, penyidik juga diharapkan dapat mendalami kemungkinan adanya tiga pelaku lain yang terkait," kata Nahar.
Terdapat tiga anak yang menjadi korban dalam kasus ini, masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun, serta seorang perempuan dewasa berusia 20 tahun. Semua korban telah mendapatkan pendampingan psikososial untuk mendukung proses pemulihan mereka.
Penanganan Kasus dan Pencopotan Jabatan
Kementerian PPPA terus mengawal penanganan kasus ini. AKBP Fajar sendiri telah ditangkap oleh Divpropam Polri pada 20 Februari 2025 atas dugaan kasus narkoba dan asusila. Ia kemudian dicopot dari jabatannya sebagai Kapolres Ngada berdasarkan Surat Telegram (ST) Kapolri Nomor ST/489/III/KEP./2025 yang ditandatangani oleh Irwasum Polri Komjen Pol. Dedi Prasetyo pada 12 Maret 2025.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya perlindungan anak dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Peran keluarga, sekolah, dan pemerintah sangat penting dalam memberikan edukasi dan perlindungan bagi anak-anak.
Selain itu, akses terhadap layanan dukungan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual juga perlu ditingkatkan. Penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak untuk melaporkan kejadian kekerasan seksual tanpa rasa takut.
Kejadian ini juga menjadi momentum untuk memperkuat sistem perlindungan anak di Indonesia, termasuk melalui peningkatan edukasi publik, penegakan hukum yang efektif, dan penyediaan layanan dukungan bagi korban.
Langkah-langkah preventif seperti edukasi tentang privasi tubuh sejak dini sangat krusial untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Dengan demikian, diharapkan kasus serupa dapat dicegah di masa mendatang.