Keanggotaan RI di BRICS: Ekspansi Perdagangan, Bukan Dedolarisasi
Indonesia bergabung dengan BRICS untuk memperluas pasar dagang, bukan untuk mendukung dedolarisasi; fokus utama adalah pada perluasan kemitraan ekonomi dan investasi.
Banda Aceh, 8 Februari 2025 - Keanggotaan Indonesia dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) baru-baru ini menjadi sorotan. Banyak yang berspekulasi bahwa langkah ini merupakan dukungan terhadap inisiatif dedolarisasi. Namun, Kepala Ekonom PermataBank, Josua Pardede, memberikan pandangan yang berbeda.
Fokus Utama: Perluasan Pasar, Bukan Dedolarisasi
Menurut Josua, tujuan utama bergabungnya Indonesia ke BRICS adalah untuk memperluas jaringan perdagangan dengan negara-negara anggota. "Kita masuk BRICS bukan berarti kita mendukung dedolarisasi China dan Rusia, karena ini dua hal yang berbeda. Inisiatif kita masuk BRICS lebih karena mengekspansi mitra dagang kita," jelasnya dalam sebuah pernyataan di Banda Aceh.
Indonesia, yang belum memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan, melihat BRICS sebagai peluang besar untuk membuka akses pasar baru dan meningkatkan ekspor serta investasi. Keanggotaan ini diharapkan membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Josua mengakui adanya potensi dampak negatif terhadap citra Indonesia di mata Amerika Serikat. Namun, ia menekankan pentingnya manajemen persepsi agar tidak terkesan Indonesia mendukung kebijakan moneter tertentu dari BRICS.
Memahami Perbedaan Dedolarisasi dan Transaksi Mata Uang Lokal (LCT)
Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) Bank Indonesia (BI), Triwahyono, memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan antara dedolarisasi dan transaksi mata uang lokal (LCT).
Dedolarisasi, menurut Triwahyono, berarti menolak penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional. Sebaliknya, LCT memberikan opsi kepada pelaku usaha untuk menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral. "LCT bukan dalam konteks antidolar, tapi memberi opsi kepada pelaku usaha untuk tidak tergantung hanya pada dolar," tegasnya.
Sebagai contoh, kerja sama LCT antara Indonesia dan Malaysia memungkinkan transaksi perdagangan menggunakan rupiah dan ringgit Malaysia tanpa melibatkan dolar AS. BI sendiri telah menjalin kerja sama LCT dengan beberapa negara, termasuk perjanjian bilateral currency swap arrangement (BCSA) terbaru dengan Bank Sentral China.
Menepis Isu Dedolarisasi BRICS
Isu dedolarisasi BRICS mencuat setelah ancaman Presiden AS Donald Trump pada akhir November 2024 untuk mengenakan tarif tinggi pada negara-negara BRICS jika mereka menggunakan mata uang alternatif. Namun, Menteri Luar Negeri RI Sugiono telah membantah adanya rencana BRICS untuk menciptakan mata uang baru sebagai pesaing dolar AS.
Sugiono menegaskan hal tersebut dalam keterangan pers pada 2 Desember 2024. Senada dengan itu, Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral, Mari Elka Pangestu, menyatakan bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS tidak akan mengganggu hubungan bilateral dengan AS. Indonesia, dengan politik luar negeri bebas aktif, mampu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak tanpa terikat pada satu forum multilateral saja.
Kesimpulan
Keanggotaan Indonesia di BRICS lebih difokuskan pada perluasan peluang ekonomi dan perdagangan. Meskipun isu dedolarisasi sempat mengemuka, pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa tujuan utama bukanlah untuk mendukung inisiatif tersebut, melainkan untuk meningkatkan akses pasar dan kemitraan ekonomi yang menguntungkan Indonesia. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri yang seimbang dan berorientasi pada kepentingan nasional.