Kejaksaan Tinggi Maluku Hentikan Penuntutan Beberapa Kasus Lewat Keadilan Restoratif
Kejaksaan Tinggi Maluku menghentikan penuntutan sejumlah kasus di Seram Bagian Barat dan Timur melalui keadilan restoratif, setelah disetujui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung RI, mencakup kasus kecelakaan lalu lintas dan kekerasan terhadap ana

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku menorehkan langkah progresif dalam penegakan hukum. Bersama Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat (Kejari SBB) dan Kejaksaan Negeri Seram Bagian Timur (Kejari SBT), mereka menghentikan penuntutan sejumlah perkara menggunakan metode keadilan restoratif atau restorative justice. Keputusan ini diumumkan pada Kamis, 23 Januari 2024 di Ambon, setelah melalui proses video conference dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung RI.
Wakil Kejati Maluku, Jefferdian, bersama Aspidum dan jaksa lainnya dari Kejari SBB dan SBT, hadir langsung dalam rapat virtual tersebut. Sementara itu, Plh Kejari SBB, Bambang Heripurwanto, dan Kejari SBT, Eddy Limbong, mengikuti rapat dari kantor masing-masing. Pertemuan ini menandai babak baru dalam penanganan kasus hukum di Maluku, mengutamakan penyelesaian yang lebih humanis.
Beberapa kasus yang dihentikan penuntutannya meliputi pelanggaran lalu lintas. Kejari SBB mengajukan dua kasus kecelakaan lalu lintas dengan tersangka RML alias Rahmat (Pasal 310 ayat 3 UU No 22 tahun 2009 tentang LLAJ) yang mengakibatkan korban anak Al Hafidz Kasturian dan As Shaff Kasturian, serta kasus serupa dengan tersangka SJ alias Sarwin (Pasal 310 ayat 4 UU No 22 tahun 2009 tentang LLAJ) yang mengakibatkan korban anak Damayanti.
Selain kasus kecelakaan, Kejari SBT juga mengajukan penghentian penuntutan kasus kekerasan terhadap anak. Kasus ini melibatkan tersangka MK alias Mohtar dan SK alias Sofyan (Pasal 80 Ayat (1) Juncto Pasal 76C UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak), dengan korban anak Hamran Syah Kilbaren alias Hamran. Uniknya, terdapat juga kasus terpisah dengan pihak yang sama, yakni penganiayaan (Pasal 351 Ayat (1) KUHP) di mana HSK alias Hamran menjadi tersangka dan MK alias Mohtar serta SK alias Sofyan sebagai korban.
Tim Restorative Justice dari Kejari SBB, Kejari SBT, dan Kejati Maluku memperkuat pengajuan ini dengan penjelasan mengenai syarat dan ketentuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, merujuk pada Pasal 5 ayat (1). Syarat-syarat tersebut meliputi; tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana penjara di bawah lima tahun, dan nilai kerugian tidak lebih dari Rp2.500.000.
Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Ardy, menjelaskan bahwa semua kasus yang diajukan telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Setelah melalui proses evaluasi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung RI menyetujui penghentian penuntutan untuk semua kasus tersebut. Ini menunjukan komitmen pemerintah dalam menerapkan keadilan restoratif.
Penghentian penuntutan lewat keadilan restoratif ini bukan hanya sekadar menghentikan proses hukum, tetapi juga merupakan upaya untuk memulihkan hubungan antara pelaku dan korban. Dengan cara ini, diharapkan tercipta perdamaian dan rekonsiliasi, serta mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang. Metode ini juga dinilai efektif dan efisien dalam menangani perkara tertentu, tanpa mengesampingkan aspek keadilan.