Kejati Sulut Tuntaskan Dua Kasus Pidana lewat Keadilan Restoratif
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara selesaikan dua perkara pidana lewat jalur keadilan restoratif, masing-masing kasus pencurian dan kecelakaan lalu lintas, dengan pertimbangan berbagai faktor.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Utara (Sulut) berhasil menyelesaikan dua perkara pidana melalui jalur keadilan restoratif. Kedua kasus ini berasal dari Kejari Kepulauan Talaud dan Kejari Kotamobagu. Penyelesaian ini menandai langkah progresif dalam penegakan hukum di Sulut, mengedepankan perdamaian dan pemulihan hubungan antara pelaku dan korban.
Kepala Kejati Sulut, Andi Muhammad Taufik, S.H., M.H., melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum, Januarius Lega Bolitobi, S.H., mengumumkan penyelesaian ini pada Rabu di Manado. Proses penyelesaian melibatkan ekspose kasus yang dihadiri oleh berbagai pejabat penting Kejati Sulut, termasuk Wakajati, Asisten Bidang Tindak Pidana Umum, dan Kepala Kejari Talaud.
Langkah restorative justice ini menunjukkan komitmen Kejati Sulut dalam memberikan akses keadilan yang lebih humanis dan efektif. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak sosial dan ekonomi, pendekatan ini dinilai lebih tepat dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu, ketimbang jalur hukum konvensional yang cenderung berfokus pada hukuman semata.
Kasus Pencurian di Kotamobagu dan Kecelakaan Lalu Lintas di Talaud
Kasus pertama berasal dari Kejari Kotamobagu, melibatkan tersangka PM alias Pri dan kawan-kawan yang didakwa dengan Pasal 363 Ayat (1) ke-4 atau Pasal 362 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang pencurian. Kasus kedua, dari Kejari Kepulauan Talaud, melibatkan tersangka YT alias Yusuf yang didakwa melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terkait kecelakaan lalu lintas.
Kepala Kejari Kotamobagu dan Kepala Kejari Kepulauan Talaud mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Permohonan ini disetujui oleh Kepala Kejati Sulut setelah melalui proses evaluasi dan pertimbangan yang matang. "Kemudian mengajukan permohonan kepada Direktur Oharda untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, dan permohonan pun disetujui," kata Januarius Lega Bolitobi, mengutip pernyataan Kepala Kejati Sulut.
Keputusan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, termasuk status tersangka sebagai pelaku pertama kali, ancaman hukuman di bawah lima tahun, penyesalan tersangka, serta perdamaian antara tersangka dan korban baik secara lisan maupun tertulis di hadapan penuntut umum dan disaksikan oleh para saksi dan perwakilan masyarakat.
Pertimbangan Penerapan Keadilan Restoratif
Penerapan keadilan restoratif dalam kedua kasus ini didasari atas beberapa pertimbangan penting. Salah satu faktor kunci adalah status tersangka sebagai pelaku pertama kali. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut mungkin bersifat insidental dan bukan merupakan pola kejahatan berulang.
Ancaman hukuman yang tidak lebih dari lima tahun juga menjadi pertimbangan. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak kejahatan relatif tidak terlalu berat dan memungkinkan penyelesaian di luar jalur peradilan formal. Lebih lanjut, penyesalan yang ditunjukkan tersangka dan komitmen untuk tidak mengulangi perbuatannya menjadi poin penting dalam proses perdamaian.
Perdamaian antara tersangka dan korban, baik secara lisan maupun tertulis, serta disaksikan oleh penuntut umum, saksi, dan perwakilan masyarakat, menunjukkan adanya komitmen bersama untuk menyelesaikan konflik secara damai dan membangun kembali hubungan yang harmonis. Proses ini menekankan aspek pemulihan dan rekonsiliasi, bukan hanya hukuman.
Keberhasilan penerapan keadilan restoratif dalam kedua kasus ini diharapkan dapat menjadi contoh dan inspirasi bagi penanganan kasus-kasus serupa di masa mendatang. Pendekatan ini membuktikan bahwa penegakan hukum tidak selalu harus berujung pada hukuman penjara, tetapi dapat juga mengedepankan pemulihan dan perdamaian.
Dengan demikian, penyelesaian kedua kasus ini melalui jalur keadilan restoratif menunjukkan komitmen Kejati Sulut dalam memberikan akses keadilan yang lebih humanis dan efektif, serta mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Ini menjadi langkah maju dalam sistem peradilan Indonesia.