Kejati Sulsel Setujui Keadilan Restoratif Kasus Penganiayaan Berlatar Pilkada Tana Toraja
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menyetujui Restorative Justice (RJ) untuk kasus penganiayaan di Tana Toraja yang dilatarbelakangi perbedaan dukungan Pilkada 2024, demi mengembalikan hubungan paman dan keponakan.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan telah menyetujui permohonan Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif untuk kasus penganiayaan yang terjadi di Kabupaten Tana Toraja. Peristiwa ini bermula dari perselisihan politik antara seorang paman dan keponakannya terkait perbedaan dukungan dalam Pilkada 2024. Kasus ini melibatkan Jono Rumpa Patanggung (26) yang menganiaya pamannya, Acong (46), pada 30 Januari 2025 di Jalan Poros Tampo-Simbuang. Persetujuan RJ ini diambil setelah Kejati Sulsel mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk hubungan kekerabatan yang dekat antara pelaku dan korban.
Kepala Kejati Sulsel, Agus Salim, menyatakan bahwa keputusan ini diambil setelah timnya melihat testimoni dari korban, tersangka, dan keluarga. Semua pihak telah memenuhi ketentuan Peraturan Jaksa Nomor 15, di mana korban memaafkan tersangka dan terdapat respons positif dari masyarakat. "Kita sudah melihat testimoni korban, tersangka dan keluarga. Telah memenuhi ketentuan Perja (Peraturan Jaksa) nomor 15, korban sudah memaafkan tersangka serta respons positif masyarakat. Atas nama pimpinan, kami menyetujui permohonan RJ yang diajukan," ujar Agus Salim dalam ekspos kasus virtual di Makassar.
Agus Salim menekankan pentingnya RJ dalam kasus ini mengingat hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara paman dan keponakan. Ia berharap penyelesaian perkara ini berjalan tanpa transaksi dan menjaga kepercayaan publik. "Saya berharap penyelesaian perkara zero transaksional untuk menjaga kepercayaan pimpinan dan publik," tegasnya, sembari menginstruksikan Kejari Tana Toraja untuk segera menyelesaikan seluruh administrasi perkara dan membebaskan tersangka.
Kronologi Penganiayaan dan Latar Belakang Politik
Perselisihan yang berujung pada penganiayaan ini berawal dari perbedaan dukungan politik pada Pilkada Tana Toraja 2024. Pada Oktober 2024, Jono dan Acong terlibat perdebatan di tempat sabung ayam mengenai pilihan calon pemimpin mereka. Acong meminta Jono untuk mendukung pasangan calon pilihannya, namun Jono menolak karena telah memiliki pilihan sendiri. Perdebatan ini berlanjut dengan tantangan dari Acong, "Temui saya kalau kau laki-laki."
Pertemuan berikutnya terjadi pada 30 Januari 2025 ketika Jono berpapasan dengan Acong di jalan. Jono kemudian menghadang Acong, mendorong sepeda motornya hingga terjatuh, dan memukulinya di bagian pelipis kiri. Beruntung, seorang saksi mata, Ajang, melerai perkelahian tersebut dan meminta bantuan warga sekitar.
Setelah kejadian tersebut, Acong melaporkan penganiayaan yang dialaminya ke pihak kepolisian. Tersangka Jono, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan dan memiliki dua anak, kini terancam hukuman namun berkesempatan mendapatkan keringanan melalui jalur RJ. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dan belum pernah terlibat kasus pidana sebelumnya.
Pertimbangan Persetujuan Restorative Justice
Keputusan Kejati Sulsel untuk menyetujui permohonan RJ didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, tersangka adalah pelaku pertama kali dan bukan residivis. Kedua, tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman penjara di bawah lima tahun. Ketiga, tersangka telah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Keempat, dan yang terpenting, korban telah memaafkan tersangka dan telah tercapai perdamaian di antara kedua belah pihak.
Proses RJ ini diharapkan dapat mengembalikan hubungan antara paman dan keponakan, sekaligus memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak. Kejati Sulsel juga menekankan pentingnya penyelesaian kasus secara zero transaksional untuk menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Dengan adanya perdamaian dan maaf dari korban, diharapkan kasus ini dapat menjadi contoh bagaimana perbedaan pilihan politik tidak harus berujung pada kekerasan dan perselisihan yang berkepanjangan.
Penyelesaian kasus ini melalui jalur RJ menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberikan akses keadilan yang lebih humanis dan restorative. Hal ini juga menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat.