KemenPPPA Desak Restitusi Kasus Penganiayaan Pelajar di Bengkulu
Kementerian PPPA mendesak mekanisme restitusi untuk korban penganiayaan pelajar di Rejang Lebong, Bengkulu, agar korban dan keluarganya mendapatkan keadilan dan pemulihan.

Kasus Penganiayaan Pelajar di Bengkulu: Desakan Restitusi dari KemenPPPA
Kekejaman penganiayaan yang menimpa seorang pelajar berusia 16 tahun, inisial RA, di Rejang Lebong, Bengkulu, pada 21 September 2024, menyita perhatian publik. Akibat penganiayaan yang diduga dilakukan oleh empat remaja, RA kini mengalami kelumpuhan dan tak dapat bersekolah. Menanggapi hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dengan tegas mendesak diterapkannya mekanisme restitusi dalam proses hukum kasus ini.
Peran Penting Restitusi dalam Pemulihan Korban
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, menyatakan pentingnya restitusi atau ganti rugi bagi korban dan keluarganya. "Mekanisme restitusi perlu diupayakan dari pelaku atau pihak ketiga agar korban dan keluarga korban tidak semakin berat menghadapi kondisi anaknya setelah kejadian," ujar Nahar dalam pernyataan resminya pada Jumat lalu. Nahar menekankan bahwa restitusi harus segera ditetapkan dalam putusan pengadilan, sehingga proses hukumnya pun perlu dipercepat.
Lebih lanjut, Nahar menjelaskan bahwa UPTD PPA Rejang Lebong telah memberikan pendampingan kepada RA. "Berharap perhatian terhadap kondisi fisik dan psikis korban anak menjadi perhatian utama dalam penanganan kasus ini," tambahnya. Pendampingan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memastikan pemulihan korban secara menyeluruh, baik fisik maupun psikis.
Proses Hukum dan Perlakuan terhadap Pelaku
Saat ini, berkas perkara kasus tersebut sedang dalam proses pengajuan ke Kejaksaan. Keempat terduga pelaku, yang juga masih berusia anak, telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya cukup berat, yaitu pidana paling lama lima tahun penjara dan atau denda maksimal Rp100 juta, mengingat korban mengalami luka berat.
Karena melibatkan anak sebagai korban dan pelaku, proses hukumnya pun mengikuti Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Nahar menjelaskan, "Karena ini kasus anak, prosesnya diberlakukan SPPA (Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak) bagi empat anak terduga pelaku dan satu anak korban." Hal ini berarti, penahanan terhadap pelaku anak baru dapat dilakukan jika memenuhi beberapa syarat, seperti tidak adanya jaminan dari orang tua/wali, potensi menghilangkan barang bukti, atau ancaman hukuman lebih dari 7 tahun penjara bagi pelaku yang berusia lebih dari 14 tahun.
Dalam kasus ini, dengan adanya jaminan dari orang tua, keempat pelaku anak tidak ditahan, namun wajib lapor. Hal ini sejalan dengan prinsip UU SPPA yang mengedepankan pembinaan dan pemulihan bagi anak berhadapan dengan hukum.
Harapan untuk Keadilan dan Pencegahan
Kasus penganiayaan terhadap RA ini menjadi sorotan karena dampaknya yang sangat serius terhadap korban. Kondisi RA yang kini mengalami kelumpuhan dan tak dapat bersekolah menjadi bukti nyata betapa kejamnya tindak kekerasan tersebut. Desakan KemenPPPA terhadap restitusi diharapkan dapat memberikan keadilan dan kompensasi yang layak bagi korban dan keluarganya. Selain itu, kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya pencegahan kekerasan terhadap anak dan perlindungan bagi mereka.
Ke depannya, diharapkan kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap perlindungan anak dan penegakan hukum yang berkeadilan. Mekanisme restitusi yang diusulkan KemenPPPA menjadi langkah penting dalam memastikan pemulihan korban dan mencegah kejadian serupa terulang kembali. Perhatian terhadap kondisi fisik dan psikis korban harus menjadi prioritas utama dalam penanganan kasus kekerasan anak.