Kementerian HAM Rekomendasikan TGPF Usut Kasus Pelanggaran HAM Mantan Pemain OCI
Kementerian HAM merekomendasikan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM berat terhadap mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) yang terjadi sejak tahun 1970-an.

Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) merekomendasikan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum dan HAM terhadap mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI). Rekomendasi ini muncul setelah Kementerian HAM melakukan pendalaman atas pengaduan korban yang diajukan, dan menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM yang serius. Kasus ini, yang bermula sejak sekitar tahun 1970-an, dinilai kompleks karena rentang waktu yang panjang, kesulitan dalam penetapan subjek hukum, dan dampak sosial-psikologis yang berkepanjangan bagi para korban.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, dalam konferensi pers di Kementerian HAM, Jakarta, Rabu (7/5), menyatakan bahwa pembentukan TGPF didasarkan pada permintaan resmi DPR RI. Beliau menekankan pentingnya investigasi mendalam mengingat kompleksitas kasus ini. "Kalau TGPF dibentuk dan menggali semakin banyak fakta atas kasus ini, pada akhirnya nanti temuan fakta itu juga akan berujung pada opsi penyelesaian seperti apa untuk mewujudkan keadilan bagi para mantan pemain sirkus OCI," ujar Munafrizal.
Kementerian HAM menawarkan beberapa opsi penyelesaian untuk mencapai keadilan bagi para korban, termasuk melalui penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, jalur hukum pidana umum, jalur perdata, keadilan restoratif, dan mediasi. Setiap opsi memiliki tantangan dan kendala tersendiri, mengingat usia kasus dan kompleksitas pembuktian. Namun, Kementerian HAM tetap mendorong upaya pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan bagi para korban yang telah menderita selama puluhan tahun.
Opsi Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Mantan Pemain OCI
Kementerian HAM telah mengidentifikasi beberapa jalur penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM terhadap mantan pemain OCI. Penyelesaian melalui kerangka pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi salah satu opsi, meskipun menghadapi tantangan pembuktian unsur serangan sistematis atau meluas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Proses ini juga memerlukan penyelidikan pro justitia oleh Komnas HAM, penyidikan dan penuntutan oleh Jaksa Agung, serta persetujuan DPR RI untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Jalur hukum pidana umum juga dipertimbangkan, mengingat dugaan tindak pidana seperti eksploitasi anak, penyiksaan, perdagangan orang, dan penghilangan identitas. Kendalanya, sebagian besar peristiwa terjadi pada dekade 1970-an hingga 1990-an, sehingga secara formal dapat dinyatakan telah melampaui batas waktu penuntutan pidana. Namun, Kementerian HAM mendorong kepolisian untuk mempertimbangkan dampak berkepanjangan dari tindak pidana tersebut dan kemungkinan membuka kembali penyelidikan berdasarkan bukti baru (novum).
Selain jalur pidana, para korban juga dapat menempuh jalur perdata dengan menuntut ganti rugi dan pengakuan atas kerugian non-material. Namun, aspek pembuktian menjadi kendala utama. Pendekatan keadilan restoratif juga ditawarkan sebagai opsi untuk membuka ruang pengakuan kebenaran, permintaan maaf, pemberian kompensasi, dan rekonsiliasi. Terakhir, mediasi dipertimbangkan sebagai instrumen penyelesaian yang relevan dan adaptif, tidak hanya untuk penyelesaian pelanggaran terhadap anak, tetapi juga sebagai upaya pengakuan terhadap kerugian historis korban.
Tantangan dan Kendala dalam Pengusutan Kasus
Pengusutan kasus ini menghadapi sejumlah tantangan. Kompleksitas kasus, rentang waktu peristiwa yang panjang, serta kesulitan dalam pembuktian menjadi kendala utama. Banyak peristiwa yang terjadi puluhan tahun lalu, sehingga bukti-bukti mungkin sulit ditemukan atau sudah hilang. Selain itu, penetapan subjek hukum yang tepat juga menjadi tantangan tersendiri.
Para korban juga mengalami dampak sosial dan psikologis yang berkepanjangan. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memberikan kesaksian atau bahkan mengingat detail peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang sensitif dan holistik dalam menangani kasus ini, dengan mempertimbangkan kondisi psikologis para korban.
Meskipun terdapat berbagai tantangan, Kementerian HAM tetap berkomitmen untuk memastikan keadilan bagi para korban. Pembentukan TGPF diharapkan dapat membantu mengungkap fakta-fakta yang terjadi dan memberikan rekomendasi penyelesaian yang tepat. Proses ini membutuhkan kerja sama berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat.
Kementerian HAM mendorong agar kepolisian juga mencermati pola keberulangan potensial yang mungkin dialami generasi pemain OCI yang lebih muda. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa mendatang. Dengan demikian, rekomendasi pembentukan TGPF diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju keadilan dan pencegahan pelanggaran HAM serupa.
Kesimpulannya, kasus ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Upaya untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi para korban harus terus dilakukan, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kendala. Semoga rekomendasi pembentukan TGPF dapat menjadi langkah penting dalam proses tersebut.