Komisi XII DPR RI Soroti Dominasi Batu Bara Ancam Kualitas Udara Nasional
Komisi XII DPR RI menyoroti dominasi batu bara dalam bauran energi nasional yang berdampak negatif pada kualitas udara dan mendesak transisi energi.

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menyoroti tingginya ketergantungan sistem kelistrikan nasional pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Dominasi hingga 67 persen ini dinilai berdampak buruk pada kualitas udara. Komisi XII DPR RI mendorong percepatan transisi energi untuk mengatasi masalah ini.
Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Gedung Parlemen Jakarta, Senin, Sugeng mengungkapkan keprihatinannya. Kapasitas PLTU batu bara mencapai sekitar 103 gigawatt, membakar rata-rata 4,6 juta ton batu bara per gigawatt setiap tahun tanpa teknologi carbon capture. Kondisi ini memperparah emisi karbon di Indonesia.
Sugeng menambahkan bahwa hanya 14,3 persen bauran energi nasional yang berasal dari sumber terbarukan. Sementara itu, 86 persen lainnya masih mengandalkan bahan bakar fosil. Situasi ini menunjukkan perlunya langkah-langkah konkret untuk mengubah komposisi energi nasional.
Evaluasi Subsidi Energi dan Insentif Energi Terbarukan
Sugeng mengusulkan percepatan peningkatan porsi energi terbarukan melalui insentif fiskal. Insentif ini dapat diberikan untuk proyek panel surya atap, pembangkit bioenergi, dan perluasan pembangkit panas bumi. Langkah ini diharapkan dapat menarik investasi dan mempercepat adopsi energi bersih.
Selain itu, Sugeng meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan subsidi energi. Subsidi energi selama ini dinilai memberikan keuntungan berlebih bagi pembangkit fosil. Ia mengusulkan agar subsidi dialihkan untuk mendukung green recovery dan teknologi rendah emisi. Transformasi energi bukan hanya soal iklim, tetapi juga kualitas hidup masyarakat.
“Transformasi energi bukan hanya soal iklim, tetapi juga kualitas hidup. Kita perlu langkah berani untuk melindungi warga dari dampak pencemaran,” ujar Sugeng.
Komitmen Pemerintah dalam Transisi Energi
Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLH, Rasio Ridho Sani, menegaskan dukungan pemerintah terhadap upaya menjadikan iklim berkelanjutan. Dukungan ini termasuk percepatan transisi energi dari penggunaan energi fosil ke sumber energi baru terbarukan.
Komitmen percepatan transisi energi merupakan bagian dari upaya pemerintah memitigasi dampak buruk kualitas udara global. Kualitas udara yang buruk mempengaruhi kerentanan kesehatan, terutama masyarakat di perkotaan. Pemerintah menargetkan adanya sistem peringatan dini terintegrasi berbasis data dari Air Quality Monitoring System (AQMS) nasional.
Berdasarkan laporan State of Global Air 2023, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan paparan PM2,5 tertinggi di dunia. Rata-rata tahunan di atas 30 mikrogram per meter kubik jauh melebihi ambang batas WHO sebesar 5 mikrogram per meter kubik. Jakarta sendiri sering mencatat indeks kualitas udara (AQI) harian dalam kategori “tidak sehat” hingga “sangat tidak sehat” pada musim kemarau.
Peta Jalan Mitigasi Pencemaran Udara
KLH menargetkan adanya sistem peringatan dini yang terintegrasi berbasis data dari Air Quality Monitoring System (AQMS) nasional. Penerapan sistem ini akan dibarengi dengan protokol tanggap darurat kualitas udara.
Sistem peringatan dini ini merupakan bagian dari peta jalan nasional mitigasi pencemaran udara 2025–2030. Sistem ini akan menjadi model awal bagi replikasi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan.
Pada akhir pembahasan rapat, Sugeng berharap Komisi XII dan pemerintah dapat bersama memformulasikan regulasi baru. Regulasi ini diharapkan mendorong percepatan transisi energi demi udara bersih dan masa depan berkelanjutan.
Dominasi batu bara dalam bauran energi nasional menjadi perhatian serius. Komisi XII DPR RI dan pemerintah berkomitmen untuk mempercepat transisi energi demi kualitas udara yang lebih baik dan lingkungan yang lebih sehat bagi masyarakat Indonesia.