Komnas HAM Kecam Kekerasan Terhadap Jurnalis ANTARA di Semarang
Komnas HAM mengecam kekerasan terhadap jurnalis, termasuk insiden pemukulan terhadap pewarta foto ANTARA di Semarang oleh ajudan Kapolri, dan mendesak penegakan hukum serta perlindungan kebebasan pers.

Jakarta, 7 April 2025 - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan kecaman keras terhadap tindakan kekerasan yang dialami oleh jurnalis Makna Zaezar, pewarta foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA. Kejadian ini terjadi pada Sabtu, 5 April 2025, di Stasiun Tawang, Semarang, Jawa Tengah, saat Makna meliput kunjungan kerja Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Peristiwa ini menandai insiden kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi berulang kali di awal tahun 2025, dan Komnas HAM mendesak agar pemerintah menjamin agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Kebebasan pers, yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menjadi landasan utama kecaman Komnas HAM. Anis Hidayah, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan demokrasi. Komnas HAM mendorong agar aparat penegak hukum memproses hukum kasus ini secara transparan dan berkeadilan.
Komnas HAM juga menyerukan kepada seluruh pihak, termasuk aparat penegak hukum dan pemerintah, untuk menghormati, menjamin, dan melindungi kebebasan pers di Indonesia. Perlindungan ini krusial bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan informasi kepada publik tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan atau intimidasi. Kejadian di Semarang menjadi bukti nyata perlunya perlindungan yang lebih kuat bagi jurnalis dalam menjalankan profesinya.
Kekerasan Terhadap Jurnalis ANTARA di Semarang
Insiden kekerasan yang menimpa Makna Zaezar bermula saat ajudan Kapolri meminta awak media dan Humas Polri untuk memberi jalan bagi Kapolri yang akan melakukan inspeksi ke gerbong kereta. Terjadi cekcok antara ajudan tersebut dengan anggota Humas Polri. Makna Zaezar, yang awalnya berada di dekat lokasi cekcok, berusaha menjauh untuk menghindari konflik. Namun, apakah ia berhasil menghindari konflik tersebut?
Menurut kesaksian Makna Zaezar, ajudan Kapolri tersebut kemudian mengarahkan kata-kata kasar dan ancaman fisik kepada para jurnalis. "'Kalian kalau dari pers, tak (saya) tempeleng satu-satu'," kata MZ saat dikonfirmasi dari Jakarta, Minggu (6/4). Setelah Makna Zaezar kembali ke posisi semula, ajudan tersebut diduga memukul bagian belakang kepala Makna Zaezar. "'Dia mengeplak, ya, kalau bahasanya sini itu ngeplak bagian kepala belakang. Nah, setelah itu saya kaget, ya. 'Wah, kenapa, Mas?' Saya bilang begitu, lalu orangnya diam. Kemudian, dia lanjut marah-marah, kemudian lanjut kerja lagi,' ujarnya.
Meskipun Ipda E, oknum anggota tim pengamanan protokoler Kapolri yang diduga melakukan kekerasan, telah menyampaikan permintaan maaf kepada Makna Zaezar pada Minggu malam di Kantor ANTARA Biro Jawa Tengah, Semarang, permintaan maaf tersebut tidak mengurangi keparahan insiden ini. Permintaan maaf disampaikan usai pertemuan di Kantor ANTARA Biro Jawa Tengah di Semarang, Minggu (6/4) malam. 'Saya menyesal dan menyampaikan permohonan maaf kepada rekan-rekan media atas kejadian di Stasiun Tawang,' kata Ipda E. Namun, permintaan maaf ini tidak menghapus tuntutan akan proses hukum yang adil dan transparan.
Pentingnya Perlindungan Kebebasan Pers
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya perlindungan terhadap jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi yang vital, dan kekerasan terhadap jurnalis merupakan serangan langsung terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi. Komnas HAM menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis, serta perlindungan yang lebih efektif bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan keamanan dan perlindungan bagi jurnalis. Hal ini mencakup penegakan hukum yang efektif, edukasi kepada aparat penegak hukum tentang pentingnya kebebasan pers, dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses bagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan. Perlindungan ini tidak hanya berupa sanksi hukum bagi pelaku, tetapi juga perlindungan terhadap ancaman dan intimidasi yang mungkin terjadi.
Kejadian ini juga menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat untuk menghargai peran penting jurnalis dalam menyampaikan informasi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kebebasan pers yang terlindungi merupakan kunci bagi terciptanya demokrasi yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia.
Komnas HAM berharap agar kasus ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia dan memastikan bahwa jurnalis dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa takut akan kekerasan atau intimidasi.