Komnas HAM Tolak Vasektomi Ditukar Bansos: Tindakan Melanggar HAM
Komnas HAM tegas menolak wacana Gubernur Jawa Barat yang mensyaratkan vasektomi untuk mendapatkan bansos, menyebutnya sebagai pelanggaran hak asasi dan privasi.

Jakarta, 2 Mei 2024 - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan penolakan keras terhadap wacana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengusulkan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos). Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menegaskan bahwa vasektomi merupakan hak asasi pribadi dan tidak seharusnya dipertukarkan dengan bantuan pemerintah. Pernyataan ini disampaikan di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Jumat lalu, menanggapi rencana kontroversial tersebut yang mencakup berbagai bantuan, mulai dari beasiswa hingga bansos lainnya.
Atnike menekankan bahwa keputusan menjalani vasektomi merupakan bagian dari hak atas tubuh sendiri. "Itu juga privasi ya, vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi, sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain," tegas Atnike. Ia menambahkan bahwa memaksa masyarakat mengikuti program keluarga berencana (KB) sebagai syarat menerima bantuan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Komnas HAM melihat wacana ini sebagai bentuk penghukuman yang bertentangan dengan prinsip HAM. "Penghukuman saja enggak boleh, pidana dengan penghukuman badan yang seperti itu sebetulnya bagian yang ditentang di dalam diskursus hak asasi, apalagi itu dipertukarkan dengan bantuan sosial. Itu otoritas tubuh, ya. Pemaksaan KB saja itu 'kan pelanggaran HAM," jelas Atnike.
Wacana Vasektomi sebagai Syarat Bansos di Jawa Barat
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengutarakan rencana untuk mengintegrasikan kepesertaan KB, khususnya vasektomi bagi laki-laki, sebagai syarat penerima berbagai bantuan dari pemerintah provinsi. Rencana ini diumumkan di Bandung pada Senin, 28 April 2024. Dedi beralasan bahwa langkah ini bertujuan untuk pemerataan bantuan dan mencegah fokus bantuan hanya pada satu kelompok keluarga saja.
Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa seluruh bantuan pemerintah akan diintegrasikan dengan data kepesertaan KB. "Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tetapi negara menjamin keluarga itu-itu juga. Yang dapat beasiswa, yang bantuan melahirkan, perumahan keluarga, bantuan nontunai keluarga dia, nanti uang negara mikul di satu keluarga," ungkap Dedi. Ia menekankan pentingnya integrasi data penerima bantuan sosial dengan data kependudukan, termasuk data peserta KB, terutama vasektomi.
Lebih lanjut, Dedi menyatakan bahwa penyaluran bantuan ke depan akan dicek terlebih dahulu berdasarkan status kepesertaan KB. "Jadi, ketika nanti kami menurunkan bantuan, dicek terlebih dahulu. Sudah ber-KB atau belum? Kalau sudah ber-KB, boleh terima bantuan. Jika belum ber-KB, KB dahulu. KB-nya harus KB laki-laki, KB pria. Ini serius," tegasnya.
Konteks Kebijakan dan Hak Asasi Manusia
Wacana ini menimbulkan perdebatan publik yang luas. Banyak pihak menilai rencana tersebut sebagai bentuk intervensi pemerintah yang berlebihan terhadap hak reproduksi individu. Selain itu, menjadikan akses terhadap bantuan sosial—yang merupakan kebutuhan dasar—tergantung pada keputusan medis pribadi dianggap tidak adil dan melanggar hak asasi manusia. Komnas HAM pun memberikan pandangan yang sejalan dengan kritik tersebut.
Perlu diingat bahwa program keluarga berencana seharusnya didasarkan pada prinsip kesukarelaan dan hak individu untuk menentukan jumlah anak dan metode kontrasepsi yang sesuai. Pemaksaan dalam bentuk apapun, apalagi dikaitkan dengan akses terhadap bantuan sosial, merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan sosial.
Kesimpulan
Pernyataan Komnas HAM ini menjadi sorotan penting dalam perdebatan publik mengenai kebijakan pemerintah dan hak asasi manusia. Wacana Gubernur Jawa Barat tersebut perlu dievaluasi secara mendalam untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah tidak melanggar hak-hak dasar warga negara, termasuk hak atas kesehatan reproduksi dan privasi.