Mahfud MD: Jadwal Pemilu Seharusnya 'Open Legal Policy', Bukan Ranah Mahkamah Konstitusi
Pakar hukum tata negara Mahfud MD menegaskan jadwal Pemilu adalah 'open legal policy', bukan ranah Mahkamah Konstitusi. Simak alasannya!

Pakar hukum tata negara terkemuka, Mahfud MD, baru-baru ini menyampaikan pandangannya mengenai jadwal keserentakan pemilu di Indonesia. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008–2013 tersebut, penentuan jadwal pemilu seharusnya merupakan domain kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
Pernyataan ini disampaikan Mahfud dalam sebuah diskusi publik yang berlangsung di Jakarta pada Kamis (24/7). Ia menekankan bahwa kewenangan untuk mengatur jadwal pemilu berada pada pembentuk undang-undang, bukan pada Mahkamah Konstitusi.
Mahfud MD berargumen bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk membatalkan suatu norma undang-undang hanya karena dianggap tidak baik. Kewenangan MK, lanjutnya, terbatas pada pembatalan norma yang secara jelas dan terbukti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wewenang MK dan Konsep 'Open Legal Policy'
Mahfud MD secara tegas membedakan peran Mahkamah Konstitusi dengan lembaga pembentuk undang-undang. Ia menjelaskan bahwa MK hanya boleh membatalkan norma yang secara eksplisit melanggar konstitusi, bukan yang berkaitan dengan kebijakan hukum terbuka.
Dalam konteks jadwal pemilu, Mahfud menyoroti adanya perbedaan antara putusan MK sebelumnya dengan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan terbaru ini secara gamblang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah, menetapkan pemilu anggota DPRD serta kepala/wakil kepala daerah digelar dua atau dua setengah tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Padahal, dalam pertimbangan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK sebelumnya memberikan enam pilihan model keserentakan pemilu. Mahfud menilai bahwa jika semua pilihan tersebut konstitusional, maka penetapan jadwal spesifik oleh MK merupakan tindakan di luar wewenangnya.
Implikasi Putusan MK dan Rekayasa Konstitusional
Meskipun demikian, Mahfud MD mengakui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, sehingga harus dijalankan. Untuk mengimplementasikan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, Mahfud mengemukakan perlunya “rekayasa konstitusional” sebagaimana diamanatkan oleh MK sendiri dalam putusan tersebut.
Ada lima alternatif rekayasa konstitusional yang diusulkan oleh Mahfud MD. Alternatif tersebut meliputi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah melalui undang-undang, penggantian kepala daerah dengan penjabat, pemilihan DPRD melalui pemilu sela, perpanjangan kepala daerah dengan penjabat dan DPRD dengan undang-undang tanpa pemilu sela, serta pilkada oleh DPRD.
Namun, Mahfud tidak merekomendasikan opsi terakhir, yaitu pilkada oleh DPRD, karena dianggap terlalu ekstrem dan berpotensi memundurkan proses demokrasi. Ia lebih menyukai model pemilu langsung seperti yang berlaku saat ini, meskipun jadwalnya menjadi persoalan yang perlu diatasi.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa keserentakan pemilu yang konstitusional adalah pemilu daerah yang diselenggarakan dua atau dua setengah tahun setelah pemilu nasional selesai. Pemilu nasional dianggap rampung ketika anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden terpilih telah dilantik.