Mahkamah Agung Kekurangan Ribuan Tenaga Teknis Kepaniteraan
Mahkamah Agung (MA) mengungkapkan kekurangan signifikan tenaga teknis kepaniteraan di pengadilan Indonesia, terutama di daerah terpencil, yang berdampak pada kinerja peradilan.

Mahkamah Agung (MA) mengungkapkan adanya kekurangan besar tenaga teknis kepaniteraan di peradilan Indonesia. Kekurangan ini berdampak pada efisiensi dan efektivitas sistem peradilan, khususnya di daerah-daerah terpencil. Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA, Bambang Myanto, memaparkan data terbaru mengenai permasalahan ini dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI.
Berdasarkan data per 12 Maret 2025, jumlah tenaga teknis kepaniteraan yang tersedia hanya 5.274 orang, sementara kebutuhan ideal mencapai 6.290 orang. Artinya, terdapat kekurangan sekitar 1.016 tenaga teknis kepaniteraan. Bambang menjelaskan bahwa rata-rata setiap tahun, MA kehilangan sekitar 500 tenaga kepaniteraan karena pensiun, meninggal dunia, sanksi disiplin, atau pengunduran diri.
Situasi ini diperparah dengan fokus pengadaan pegawai di lingkungan pengadilan yang lebih tertuju pada posisi hakim. Akibatnya, pengadaan untuk tenaga teknis kepaniteraan, termasuk panitera dan juru sita, menjadi terabaikan. Hal ini juga dipengaruhi oleh rendahnya tunjangan jabatan bagi para panitera, yang berkisar antara Rp300.000 hingga Rp540.000, jauh lebih rendah dibandingkan tunjangan di kesekretariatan.
Kekurangan Tenaga Kepaniteraan di Berbagai Tingkat Pengadilan
Kekurangan tenaga teknis kepaniteraan ini tersebar di berbagai tingkatan pengadilan. Data yang disampaikan Bambang menunjukkan kekurangan yang signifikan, yaitu 11 panitera pengadilan tinggi (PT) dan pengadilan negeri (PN), 126 panitera muda PT dan PN, 2.641 panitera pengganti PT dan PN, 741 juru sita, dan 2.771 juru sita pengganti. Kondisi ini memaksa beberapa pengadilan untuk memberlakukan merangkap jabatan, terutama di daerah-daerah terpencil yang minim tenaga kerja.
Bambang menambahkan bahwa minimnya jumlah panitera pengganti membuat panitera muda harus merangkap jabatan. "Terutama di daerah-daerah yang memang jauh karena memang tidak ada lagi personel yang bisa kami usulkan untuk diangkat menjadi panitera pengganti," ujarnya. Kondisi ini tentu saja berpotensi menimbulkan beban kerja yang berlebihan dan dapat menghambat proses persidangan.
Jumlah panitera PT dan PN saat ini hanya 405 orang, panitera muda PT dan PN sebanyak 1.240 orang, panitera pengganti PT dan PN berjumlah 2.587 orang, juru sita sebanyak 753 orang, dan juru sita pengganti sebanyak 739 orang. Perbandingan antara jumlah yang tersedia dan kebutuhan yang ideal menunjukkan kesenjangan yang cukup besar.
Upaya Penanganan dan Solusi Jangka Panjang
Permasalahan kekurangan tenaga teknis kepaniteraan ini memerlukan solusi komprehensif dan jangka panjang. MA perlu mempertimbangkan berbagai strategi untuk mengatasi masalah ini, termasuk peningkatan tunjangan jabatan, penambahan kuota penerimaan pegawai di bidang kepaniteraan, dan program pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi tenaga kepaniteraan yang sudah ada. Selain itu, perlu juga dilakukan upaya untuk menarik minat generasi muda untuk berkarier di bidang kepaniteraan.
Pemerataan distribusi tenaga kepaniteraan juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Strategi penempatan pegawai yang tepat dan efektif perlu diterapkan untuk memastikan bahwa semua pengadilan, terutama di daerah terpencil, memiliki jumlah tenaga kepaniteraan yang memadai. Hal ini penting untuk menjamin akses keadilan yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Peningkatan kesejahteraan dan profesionalisme tenaga kepaniteraan juga menjadi kunci dalam mengatasi masalah ini. Dengan memberikan insentif yang memadai dan program pelatihan yang berkelanjutan, diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan daya tarik profesi kepaniteraan di mata generasi muda.
Kesimpulannya, kekurangan tenaga teknis kepaniteraan di pengadilan Indonesia merupakan masalah serius yang memerlukan perhatian dan penanganan segera. Solusi komprehensif yang melibatkan peningkatan kesejahteraan, pemerataan distribusi, dan peningkatan profesionalisme tenaga kepaniteraan sangat dibutuhkan untuk menjamin efektivitas dan efisiensi sistem peradilan di Indonesia.