Mencegah Tragedi: Solidaritas Perempuan Dorong Mekanisme Lintas Batas Atasi TPPO Pekerja Migran Perempuan
Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah perkuat mekanisme lintas batas dan kolaborasi multi-pihak untuk berantas TPPO Pekerja Migran Perempuan. Mengapa ini krusial?

Organisasi kemasyarakatan Solidaritas Perempuan (SP) secara tegas mendorong pemerintah Indonesia untuk menjalin kolaborasi mekanisme lintas batas negara. Langkah ini dinilai krusial guna memberantas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menyasar pekerja migran perempuan. Dorongan ini disampaikan dalam sebuah dialog publik yang berlangsung di Komnas Perempuan, Jakarta, pada Kamis lalu.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menekankan bahwa urgensi mekanisme cross-border sangat tinggi. Hal ini mengingat kasus TPPO tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi banyak menimpa pekerja migran perempuan di lintas negara. Situasi ini menuntut respons yang terkoordinasi dan komprehensif dari berbagai pihak terkait.
Armayanti menambahkan bahwa penguatan kerja sama pada mekanisme lintas batas sangat diperlukan, baik dalam proses pencegahan maupun pada aspek penanganan korban. Banyak refleksi menunjukkan bahwa korban human trafficking, termasuk korban online scam, seringkali harus menanggung sendiri biaya pemulangan mereka. Padahal, para pekerja migran ini adalah korban TPPO yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Pentingnya Mekanisme Lintas Batas dan Definisi Korban
Solidaritas Perempuan menyoroti bahwa indikator untuk mendefinisikan para pekerja migran sebagai korban TPPO masih belum ditetapkan secara jelas. Kondisi ini seringkali menimbulkan pengabaian terhadap situasi sulit yang mereka alami. Tanpa definisi yang tegas, penanganan dan perlindungan terhadap korban menjadi terhambat.
Oleh karena itu, kolaborasi lintas batas menjadi fondasi utama dalam upaya pemberantasan TPPO Pekerja Migran Perempuan. Kerja sama ini harus mencakup pertukaran informasi, koordinasi penegakan hukum, serta penyediaan bantuan dan perlindungan bagi korban di negara asal maupun negara tujuan. Mekanisme ini diharapkan dapat meminimalisir celah yang sering dimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan orang.
Penguatan kerja sama pada mekanisme lintas batas juga harus mencakup upaya pencegahan yang lebih efektif. Ini termasuk kampanye kesadaran, edukasi tentang risiko migrasi tidak aman, dan penyediaan informasi yang akurat bagi calon pekerja migran. Tujuannya adalah untuk membekali pekerja dengan pengetahuan yang cukup agar tidak mudah terjebak dalam praktik TPPO.
Implementasi Kerja Sama ASEAN dan Komitmen Bersama
Selain kolaborasi pada mekanisme lintas batas, Armayanti Sanusi juga mendorong penguatan sejumlah kerja sama yang telah disepakati di antara negara-negara anggota ASEAN dalam pemberantasan TPPO. Ia menyatakan bahwa sebenarnya ada banyak mekanisme kerja sama di ASEAN, namun implementasinya belum optimal.
Terutama dalam konteks pencegahan atau penanganan antarnegara, implementasi kerja sama ASEAN masih perlu ditingkatkan. Solidaritas Perempuan mendesak adanya komitmen bersama yang lebih kuat di antara negara-negara ASEAN. Hal ini penting guna memperkuat implementasi kerja sama sehingga penanganan kasus TPPO dapat dilakukan dengan lebih baik dan terkoordinasi.
Komitmen ini harus diterjemahkan dalam aksi nyata, seperti pertukaran data intelijen, pelatihan bersama bagi aparat penegak hukum, dan harmonisasi regulasi antarnegara. Dengan demikian, jaringan perdagangan orang yang sering beroperasi lintas negara dapat diputus secara lebih efektif. Penguatan ini juga akan mempercepat proses repatriasi dan rehabilitasi korban.
Kolaborasi Multi-Pihak dan Pengawasan P3MI
Solidaritas Perempuan juga mendorong penguatan kerja sama lintas kementerian dan dengan organisasi masyarakat sipil. Kolaborasi ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem perlindungan yang lebih komprehensif bagi pekerja migran perempuan. Selain itu, kerja sama tripartit dengan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) juga ditekankan.
Dalam artian, P3MI harus memiliki kontribusi dan bertanggung jawab penuh terhadap situasi yang dialami para pekerja migran perempuan. Pemerintah juga didorong untuk mengambil tindakan guna membenahi mekanisme lembaga pengawasan terhadap P3MI. Hal ini dinilai penting karena sejumlah laporan menunjukkan bahwa TPPO juga dilakukan oleh P3MI yang memiliki izin perekrutan sah secara hukum.
Meskipun memiliki izin, beberapa P3MI masih melakukan berbagai pelanggaran terhadap hak pekerja migran perempuan. Solidaritas Perempuan, bersama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil kepemimpinan dalam memberantas TPPO, terutama bagi korban TPPO di luar negeri, termasuk pekerja migran perempuan.