Menguak Jejak Bahari Abad ke-10: Budayawan Serukan Transformasi Festival Pinisi dari Seremoni ke Diplomasi Budaya Internasional
Festival Pinisi 2025 di Bulukumba dinilai belum maksimal. Budayawan menyerukan transformasi dari seremoni menjadi diplomasi budaya internasional yang mengangkat nilai maritim Bugis-Makassar.

Pelaksanaan Festival Pinisi 2025 di Kabupaten Bulukumba menuai sorotan tajam dari sejumlah pemerhati budaya Sulawesi Selatan. Festival tahunan ini dinilai belum sepenuhnya merepresentasikan kekayaan nilai dan sejarah maritim Bugis-Makassar yang mendalam. Para budayawan mendesak adanya perubahan signifikan dalam konsep penyelenggaraan acara.
Budayawan Hasanuddin Salsabila menegaskan bahwa Festival Pinisi yang telah masuk dalam Calendar of Events Kementerian Pariwisata masih sebatas seremoni belaka. Menurutnya, acara tersebut belum memiliki muatan narasi peradaban yang kuat. Oleh karena itu, ia menyerukan agar festival ini diubah menjadi ajang diplomasi budaya internasional yang lebih bermakna.
Kritik serupa juga datang dari peneliti filologi Bugis, Abdi Mahesa. Ia menyoroti kegagalan festival dalam menyentuh warisan sastra terbesar Bugis, epos I La Galigo, yang telah diakui UNESCO. Transformasi ini diharapkan dapat mengangkat identitas bangsa maritim di mata dunia.
Meningkatkan Festival Pinisi sebagai Diplomasi Budaya
Hasanuddin Salsabila, lulusan Master of Education dari Deakin University Melbourne, menekankan bahwa kapal Pinisi bukan sekadar warisan fisik semata. Pinisi merupakan simbol kejayaan bahari Nusantara yang seharusnya dipromosikan sebagai identitas bangsa di kancah global. Ia mempertanyakan pesan yang disampaikan dalam perayaan Festival Pinisi saat ini.
Menurutnya, belum ada pendekatan serius untuk membangun diplomasi budaya internasional melalui festival ini. Padahal, pelaut Bugis-Makassar telah menjelajah laut sejak abad ke-10, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal kapal layar. Festival budaya seharusnya diisi narasi sejarah dan nilai peradaban yang berakar dari karakter lokal.
Selain itu, Hasanuddin juga menyoroti pentingnya meritokrasi berbasis budaya bagi pemimpin daerah. Nilai "malempu namagetteng" (jujur dan teguh pada prinsip) dalam tradisi Bugis-Makassar harus menjadi pedoman. Hal ini relevan dalam merancang kebijakan budaya, bukan hanya mengatur anggaran seremoni semata.
Ia juga menekankan perlunya keterlibatan aktif Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Peran pemerintah provinsi tidak hanya sebagai fasilitator administratif. Namun, juga sebagai pengarah narasi budaya strategis untuk mendukung diplomasi Indonesia sebagai bangsa maritim.
Mengangkat Epos I La Galigo dalam Narasi Festival
Budayawan muda dan peneliti filologi Bugis, Abdi Mahesa, turut menyampaikan kritiknya terhadap Festival Pinisi. Ia mengingatkan bahwa festival ini belum menyentuh warisan sastra terbesar Bugis, yaitu epos I La Galigo. Karya agung tersebut telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World.
Abdi menyoroti banyak bagian penting dari I La Galigo yang belum dikaji atau diangkat dalam wacana publik. Terutama bab akhir tentang transendensi Sawerigading sebagai tokoh kosmologis. Padahal, di dalamnya terkandung nilai spiritual, filosofi pelayaran, dan wawasan hidup yang luar biasa mendalam.
Kegagalan membawa I La Galigo ke dalam narasi Festival Pinisi mencerminkan lemahnya arah kurasi budaya daerah. Menurut Abdi, pemimpin bukan hanya butuh kepintaran, tetapi juga karakter. Pemimpin yang "malempu namagetteng" tidak akan membiarkan warisan intelektual seperti I La Galigo terabaikan.
Sebagian besar naskah I La Galigo yang tersimpan di Leiden University Library dan Perpustakaan Nasional RI belum sepenuhnya diterjemahkan. Meskipun dunia sempat mengenal kisah ini melalui pertunjukan sutradara Robert Wilson pada tahun 2004. Generasi muda membutuhkan ruang untuk terlibat dalam festival budaya, bukan hanya sebagai penonton.