Menu MBG Mentah Viral, Kepala BGN: SPPG Baru Perlu Adaptasi
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menanggapi viralnya laporan menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang belum matang, menjelaskan perlunya adaptasi bertahap bagi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) baru.

Jakarta, 28 Februari 2024 - Sebuah laporan viral di media sosial mengenai menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang belum matang telah mendapatkan tanggapan resmi dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana. Kejadian yang bermula dari temuan menu ayam mentah di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur ini, telah mendorong BGN untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program MBG.
Dadan Hindayana, saat diwawancarai di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat lalu, menjelaskan bahwa insiden ayam mentah tersebut umumnya terjadi pada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang baru pertama kali menjalankan program MBG. Ia menekankan bahwa program ini membutuhkan proses adaptasi yang bertahap agar kualitas makanan tetap terjaga dan terdistribusi dengan baik kepada para penerima manfaat.
"Makanan bergizi ini kan untuk pembiasaan, jadi makanan belum matang itu rata-rata terjadi pada SPPG yang baru. Oleh sebab itu, Badan Gizi melakukan evaluasi harian dan meminta penyedia baru untuk memulai dengan jumlah kecil," ujar Dadan. Penjelasan ini memberikan gambaran mengenai kompleksitas dalam menjalankan program MBG di berbagai daerah di Indonesia.
Adaptasi Bertahap untuk SPPG Baru
BGN telah menetapkan prosedur standar operasional (SOP) baru untuk memastikan kualitas makanan yang disajikan dalam program MBG. SPPG yang baru bergabung tidak diperbolehkan langsung menyediakan makanan dalam jumlah besar. Mereka diharuskan memulai dengan porsi kecil, dimulai dari 150 porsi, kemudian secara bertahap ditingkatkan menjadi 500, 1.000, hingga 1.500 porsi.
Langkah ini, menurut Dadan, bertujuan untuk memberikan waktu bagi penyedia makanan untuk beradaptasi dengan skala produksi yang lebih besar. "Bisa masak di rumah untuk 10 orang itu belum tentu bisa masak untuk 150 orang. Jadi, kami sudah instruksikan agar SPPG baru memulai dari hal yang kecil terlebih dahulu," tambahnya. Proses adaptasi ini dinilai penting untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali.
Selain itu, BGN juga telah menerapkan sistem pengawasan kualitas atau quality control yang ketat di setiap sekolah. Para ahli gizi diwajibkan untuk melakukan uji kelayakan makanan sebelum didistribusikan kepada para siswa. "Sebelum dikirim ke sekolah, dites dulu. Itulah mengapa kita mewajibkan setiap satuan pelayanan memiliki ahli gizi, untuk mengontrol kualitas makanan," jelas Dadan.
Peran Dokter dan Evaluasi Program
BGN juga melibatkan dokter dalam proses pengawasan kualitas makanan MBG. Meskipun demikian, Dadan mengakui bahwa proses adaptasi di daerah-daerah baru membutuhkan waktu yang cukup lama. Ia mencontohkan pengalaman uji coba sebelumnya yang membutuhkan waktu hingga tiga bulan agar SPPG mampu memasak untuk 3.000 orang dengan kualitas dan kematangan yang konsisten.
"Saat uji coba dulu, kami butuh tiga bulan hingga ibu-ibu di SPPG bisa masak untuk 3.000 orang dengan kualitas rasa dan kematangan yang sama. Sekarang ini menjadi SOP kami, penyedia baru harus memulai dari jumlah kecil," ungkap Dadan. Pengalaman ini menjadi dasar penetapan SOP baru yang lebih ketat.
BGN berkomitmen untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kejadian di Waingapu tersebut. Tujuannya adalah untuk mencegah terulangnya kejadian serupa dan memastikan bahwa program MBG dapat berjalan dengan baik serta memberikan manfaat optimal bagi para siswa. "Evaluasi harus dilakukan agar kejadian ini tidak terulang kembali. Kualitas makanan harus dijaga agar penerima manfaat tidak dirugikan," tegas Dadan.
Program MBG merupakan bagian penting dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat, khususnya pelajar. Dengan adanya evaluasi dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan program ini dapat mencapai tujuannya dan memberikan dampak positif bagi kesehatan dan pendidikan anak-anak Indonesia.