MIND ID Butuh Rp19,9 Triliun untuk Hilirisasi Pertambangan di 2025
Holding pertambangan MIND ID membutuhkan Rp19,9 triliun untuk belanja modal guna menjalankan program hilirisasi, termasuk pembangunan smelter dan peningkatan kapasitas produksi.

Holding industri pertambangan PT Mining Industry Indonesia (MIND ID) membutuhkan biaya belanja modal (capex) yang signifikan, tepatnya Rp19,9 triliun, untuk menjalankan berbagai program prioritas pada tahun 2025. Hal ini diungkapkan Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta pada Kamis lalu. Dana tersebut akan dialokasikan untuk mendorong hilirisasi sektor pertambangan di Indonesia.
Beberapa proyek utama yang akan menyerap dana tersebut meliputi pembangunan dan pengembangan infrastruktur pendukung hilirisasi. Proyek-proyek ini tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan melibatkan beberapa anak perusahaan MIND ID. Kebutuhan dana yang besar ini menunjukkan komitmen MIND ID dalam memajukan industri pertambangan nasional melalui pengolahan sumber daya alam di dalam negeri.
Selain itu, rencana ini juga menunjukkan upaya pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah komoditas pertambangan dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Dengan demikian, investasi besar ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan negara.
Proyek-Proyek Prioritas MIND ID Tahun 2025
MIND ID telah menetapkan beberapa proyek prioritas untuk tahun 2025. Salah satu proyek terbesar adalah pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) fase 1 dan 2 di Mempawah, Kalimantan Barat, yang dikelola oleh PT Antam Tbk dan Inalum. Refinery dan smelter ini memiliki kapasitas 1 juta ton dan akan memainkan peran penting dalam pengolahan bauksit.
Proyek lainnya adalah pembangunan smelter rotary kiln electric furnace (RKEF) FHT dan high pressure acid leaching (HPAL) oleh Antam di Halmahera Timur, Maluku Utara. Proyek ini juga merupakan bagian penting dari upaya hilirisasi dan peningkatan nilai tambah nikel.
Selain itu, MIND ID juga memprioritaskan penyelesaian perbaikan smelter tembaga PT Freeport Indonesia yang mengalami kerusakan akibat kebakaran pada Oktober 2024. Dilo Seno Widagdo menargetkan smelter tersebut pulih pada Juni 2025 dan beroperasi penuh pada akhir tahun yang sama. PT Freeport juga mengembangkan pembangkit listrik tenaga gas di Papua yang ditargetkan selesai pada akhir 2024.
Tidak hanya itu, MIND ID juga akan meningkatkan kapasitas angkutan batu bara TE-Keramasan milik PT Bukit Asam menjadi 20 juta ton. Terakhir, Inalum akan membangun smelter aluminium baru dengan kapasitas 600 ribu ton. Semua proyek ini membutuhkan investasi besar dan menunjukkan komitmen MIND ID terhadap pengembangan industri hilir pertambangan.
Tantangan Pengembangan Hilirisasi
Meskipun memiliki rencana yang ambisius, MIND ID juga menghadapi sejumlah tantangan dalam pengembangan hilirisasi. Salah satu tantangan utama adalah ketersediaan energi, terutama dalam konteks transisi menuju energi baru terbarukan (EBT). Peralihan ke EBT membutuhkan investasi besar dan perencanaan yang matang.
Selain itu, pembangunan infrastruktur pendukung seperti perumahan, jalan, dan pelabuhan juga menjadi tantangan. Proyek-proyek infrastruktur ini membutuhkan belanja modal yang besar dan dapat mempengaruhi daya saing industri. Kepastian regulasi juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan untuk memastikan keberhasilan investasi.
Dilo Seno Widagdo menekankan pentingnya kepastian regulasi sebagai faktor penentu keberhasilan investasi. Menurutnya, "Yang juga penting dalam berinvestasi adalah kepastian regulasi, yang sampai hari ini juga masih sangat menantang bagi kami untuk bisa mendapatkan itu." Pernyataan ini menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Dengan total kebutuhan capex mencapai Rp19,9 triliun, MIND ID menunjukkan komitmen besarnya terhadap hilirisasi industri pertambangan di Indonesia. Namun, keberhasilan rencana ini sangat bergantung pada teratasi tidaknya berbagai tantangan yang ada, termasuk ketersediaan energi, infrastruktur, dan kepastian regulasi. Keberhasilan ini akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia dan menciptakan nilai tambah bagi sumber daya alam Indonesia.