Papua Manfaatkan Makanan Lokal untuk Program Makan Siang Gratis
Pemerintah Papua berupaya sukseskan program makan siang gratis dengan memanfaatkan potensi pangan lokal demi menekan biaya dan meningkatkan gizi anak sekolah, kendati tantangan berupa kebiasaan makan dan diversifikasi menu masih ada.
Program makan siang gratis bergizi pemerintah kini diterapkan di berbagai daerah Indonesia, termasuk Papua. Namun, tantangan besar muncul dalam hal pendanaan dan ketersediaan bahan baku. Pemerintah Provinsi Papua berkomitmen menjadikan program ini sukses dengan berbagai strategi, termasuk uji coba penyediaan makanan gratis di beberapa lokasi. Inovasi kunci? Mengoptimalkan penggunaan bahan pangan lokal.
Sembilan kabupaten dan kota di Papua bekerja sama dengan pemerintah provinsi untuk mengurangi biaya program dengan menggunakan bahan makanan lokal yang kaya nutrisi. Sebelumnya, ketergantungan pada komoditas pertanian impor membuat biaya program membengkak.
Gubernur Papua, Ramses Limbong, mengakui kendala utama program ini adalah anggaran yang dinilai kurang mencukupi oleh pemerintah kabupaten. Biaya ideal makanan untuk anak sekolah di Papua berkisar Rp25.000 hingga Rp45.000 per anak, tergantung wilayah. Untuk mengatasi ini, pemerintah provinsi membangun koordinasi antar instansi terkait, mengembangkan pertanian lokal, dan memetakan makanan pengganti tanpa mengurangi nilai gizinya.
Setiap kabupaten memiliki kekhasan pangan lokal. Misalnya, Sarmi kaya akan hasil laut, sayur mayur, umbi-umbian, dan daging. Pemerintah daerah perlu mengelola potensi ini untuk menciptakan menu menarik bagi anak-anak. Di Keerom, dengan keterbatasan ikan, protein bisa diganti dengan daging atau telur. Strategi serupa diterapkan di daerah lain sesuai karakteristiknya.
Data BPS Papua tahun 2020 menunjukkan luas lahan perkebunan lebih dari 152.000 hektare, dengan sagu sebagai komoditas utama (hampir 68.000 ton per tahun). Populasi unggas tahun 2021 lebih dari 7,5 juta, didominasi ayam broiler (3,3 juta). Produksi daging tahun 2022 meliputi sapi (2,6 juta kg), kuda (17.250 kg), ayam (5 juta kg), dan itik (124.065 kg). Produksi perikanan tangkap tahun 2021 lebih dari 247.000 ton, dan budidaya 22.144 ton. Potensi ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah dari TK hingga SMA.
Potensi bahan pangan lokal Papua sangat besar. Sagu, misalnya, dalam 100 gram mengandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium, dan 1,2 mg zat besi (355 kalori). Kandungan kalori sagu sebanding dengan sumber karbohidrat lain seperti jagung (361 kalori), beras (360 kalori), singkong (195 kalori), dan ubi jalar (143 kalori). Tantangannya adalah menciptakan menu beragam yang disukai anak-anak, karena mereka terbiasa dengan nasi.
Kreativitas penyajian makanan sangat penting. Ubi jalar, misalnya, bisa dihaluskan dan dicetak dengan cetakan lucu, disajikan dengan ikan suwir dan sayur pakis. Bisa juga dipadukan dengan kacang rebus, biji nangka, dan bahan lain. Sinole (sagu gulung) bisa disajikan dengan ikan bakar dan lalapan. Buah lokal seperti alpukat, nanas, jeruk, mangga, dan naga juga tersedia. Berbagai variasi ini diharapkan menarik bagi anak-anak.
Usilina Epa, tokoh pemberdayaan masyarakat, menekankan pentingnya pemanfaatan pangan lokal. Ia berharap kerjasama antara pemerintah pusat, daerah, lembaga terkait, pengusaha kuliner, dan UMKM Papua berjalan baik agar program ini sukses. Dengan koordinasi yang intensif, anak-anak akan mendapatkan makanan sehat, segar, dan bergizi. Kekayaan pangan lokal Papua diharapkan mendukung keberhasilan program makan siang gratis.