Pejabat Waskita Karya Divonis Berbeda dalam Kasus Korupsi LRT Palembang
Tiga pejabat Waskita Karya dan satu direktur perusahaan lain divonis dengan hukuman penjara dan denda bervariasi dalam kasus korupsi pembangunan LRT Palembang, Sumatera Selatan.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Palembang telah menjatuhkan vonis terhadap tiga pejabat PT Waskita Karya dan satu direktur perusahaan lain yang terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Light Rail Transit (LRT) Palembang. Vonis dibacakan pada Selasa, 06 Mei 2024. Kasus ini melibatkan proyek pembangunan infrastruktur LRT di Sumatera Selatan yang menelan kerugian negara hingga puluhan miliar rupiah.
Majelis hakim yang diketuai Fauzi Isra menjatuhkan vonis yang bervariasi. Mantan Kepala Divisi II PT Waskita Karya, Tukijo, divonis 4 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara itu, mantan Kepala Gedung II, Ignatius Joko Herwanto, dan mantan Kepala Divisi Gedung III, Septian Andri Purwanto, masing-masing divonis 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Direktur Utama PT Perentjana Djaja, Bambang Hariadi Wikanta, menerima hukuman terberat, yaitu 5 tahun 4 bulan penjara, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan wajib mengembalikan kerugian negara sebesar Rp8,3 miliar. Perbedaan vonis ini menunjukkan adanya pertimbangan majelis hakim terhadap peran dan tingkat keterlibatan masing-masing terdakwa dalam kasus korupsi tersebut.
Vonis Lebih Ringan Dibanding Tuntutan JPU
Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim lebih rendah daripada tuntutan JPU. Tukijo semula dituntut 7 tahun penjara, sedangkan Ignatius Joko Herwanto dan Septian Andri Purwanto dituntut 6 tahun penjara. Bambang Hariadi Wikanta bahkan dituntut 8 tahun penjara. Meskipun lebih ringan, majelis hakim menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Perbedaan antara tuntutan dan vonis ini menunjukkan adanya pertimbangan yang matang dari majelis hakim. Hal ini mungkin mempertimbangkan sejumlah faktor, termasuk peran masing-masing terdakwa, bukti yang diajukan, dan faktor-faktor lain yang meringankan hukuman.
Majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman dalam menentukan vonis. Rinciannya tidak dijelaskan secara detail dalam informasi yang tersedia.
Kronologi Kasus Korupsi LRT Palembang
Dakwaan JPU mengungkapkan bahwa awal tahun 2016, setelah terbitnya Perpres Nomor 116 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggara LRT di Sumsel, Direktur Utama PT Waskita Karya, Muhammad Choliq, memerintahkan Tukijo untuk menyiapkan dana dari pekerjaan pembangunan prasarana LRT di Palembang. Dana tersebut kemudian diserahkan kepada Prasetyo Boeditjahjono selaku Direktur Pelaksana Perkeretaapian.
Perintah tersebut juga disampaikan Tukijo kepada Ignatius Joko Hermanto dan Pius Sutrisno. Dakwaan juga menyebutkan bahwa para terdakwa tidak melaksanakan pemilihan penyedia dengan benar. Laporan audit keuangan negara menyebutkan kerugian negara mencapai Rp74 miliar dalam perkara dugaan korupsi pekerjaan pembangunan prasarana LRT Sumsel pada tahun anggaran 2016—2020.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proyek-proyek infrastruktur besar di Indonesia. Proses pengadaan dan pelaksanaan proyek harus dilakukan secara ketat dan sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mencegah terjadinya korupsi.
Putusan pengadilan ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan korupsi dan menjadi pelajaran berharga bagi pengelolaan proyek-proyek pemerintah ke depannya. Proses hukum yang transparan dan penegakan hukum yang tegas sangat penting untuk memastikan pembangunan infrastruktur yang bersih dan berkelanjutan.