Peluang Besar Indonesia Capai Target Emisi Nol Karbon 2060: Peran Vital Teknologi CCS/CCUS
Kementerian ESDM melihat teknologi CCS/CCUS sebagai kunci percepatan target emisi nol karbon Indonesia 2060. Bagaimana teknologi ini menjembatani transisi energi?

Jakarta, 22 Juli 2024 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti peran strategis teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) serta penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (Carbon Capture, Utilization and Storage/CCUS). Teknologi ini dinilai sebagai peluang krusial bagi Indonesia. Tujuannya adalah mempercepat pencapaian target emisi nol karbon (Net Zero Emission/NZE) pada tahun 2060.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menjelaskan bahwa tidak semua sektor industri dapat segera beralih sepenuhnya ke energi baru terbarukan (EBT). Oleh karena itu, CCS/CCUS hadir sebagai solusi penting. Teknologi ini dapat menjawab kebutuhan sektor-sektor yang masih sangat bergantung pada energi fosil dalam operasionalnya.
Dadan menyebut CCS/CCUS sebagai jembatan transisi energi. Masih banyak industri dan pembangkit listrik yang belum mampu sepenuhnya meninggalkan energi fosil. Pendekatan ini memungkinkan pengurangan emisi signifikan. Ini dilakukan tanpa menghentikan kegiatan ekonomi yang vital secara mendadak.
CCS/CCUS: Jembatan Transisi dan Regulasi Pendukung
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif dalam menyiapkan regulasi dan ekosistem untuk pengembangan CCS/CCUS. Dadan Kusdiana mengklaim bahwa kerangka kerja Indonesia lebih maju dibandingkan negara-negara tetangga. Upaya ini menunjukkan komitmen serius dalam menghadapi perubahan iklim.
Salah satu bukti nyata adalah kerja sama dengan Singapura yang ditandatangani pada Oktober 2022. Kerja sama ini berfokus pada pengembangan regulasi, studi kelayakan teknis dan ekonomi, serta kerangka kerja legal. Ini mencakup transportasi dan penyimpanan karbon lintas negara. Inisiatif ini membuka peluang ekonomi baru dan berkontribusi pada penurunan emisi.
Koordinator Pokja Pengembangan WK Migas Non-Konvensional Kementerian ESDM, Dwi Adi Nugroho, menambahkan bahwa pemerintah sedang menyusun peraturan pemerintah tambahan. Peraturan ini bertujuan untuk memperkuat skema bisnis CCS/CCUS. Aspek lintas batas memerlukan kerangka hukum bilateral yang kokoh. Hal ini penting agar tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Peluang Ekonomi dan Tantangan Implementasi CCS/CCUS
Implementasi teknologi CCS/CCUS di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Tantangan ini meliputi aspek ekonomi, teknologi, regulasi, dan sosial. Firera, Vice President of Business Support dan Lead Carbon Management SKK Migas, menekankan perlunya pendekatan lintas sektor yang kolaboratif. Kerjasama ini melibatkan berbagai pihak untuk mengatasi hambatan yang ada.
Firera optimis bahwa jika pelaku industri hulu migas dapat menerapkan CCS/CCUS secara luas, teknologi ini bisa menjadi 'revenue generator'. Ini bukan sekadar beban biaya operasional. Potensi ini dapat membawa dampak positif signifikan bagi industri. Saat ini, Pertamina Hulu Energi (PHE) tengah mengembangkan 12 proyek CCS/CCUS. Proyek-proyek ini memiliki kapasitas penyimpanan karbon hingga 7,3 gigaton.
Peluang ekonomi dari CCS/CCUS tidak hanya terbatas pada sektor hulu migas. Transportasi dan penyimpanan karbon lintas negara juga membuka potensi bisnis baru. Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada mitigasi risiko dan penyesuaian regulasi. Ini memastikan proyek-proyek tersebut layak secara keekonomian dan aman secara lingkungan.
Menjaga Keseimbangan: CCS/CCUS dan Transisi EBT
Meskipun potensi CCS/CCUS sangat besar, Executive Director Indonesia Climate Change Trust Fund Bappenas, Yahya Rachmana Hidayat, memberikan peringatan penting. Pengembangan CCS/CCUS tidak boleh menjadi alasan untuk memperlambat transisi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT). Diperlukan kerangka regulasi yang jelas. Ini untuk mencegah konflik kepentingan antara pemanfaatan CCS dan pengembangan energi bersih.
Yahya menegaskan, jika pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) diperpanjang masa operasionalnya dengan alasan ada CCS, hal itu dapat menghambat pengembangan EBT. Oleh karena itu, regulasi yang mencegah konflik semacam ini sangat dibutuhkan. Tujuannya adalah memastikan bahwa CCS/CCUS mendukung, bukan menggantikan, upaya transisi energi.
Bappenas saat ini sedang mengembangkan strategi 'super green development'. Strategi ini mengintegrasikan EBT, hidrogen, nuklir, dan CCS dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Bappenas juga sedang menyusun panduan kerja sama teknis dengan Uni Eropa. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam peta jalan pembangunan berkelanjutan global.