Peneliti Usul Pemerintah Aceh Dirikan Museum Manuskrip Kuno
Peneliti filologi mengusulkan pembangunan museum manuskrip di Aceh untuk melestarikan ribuan naskah kuno yang terancam hilang dan meningkatkan akses informasi sejarah Aceh.

Banda Aceh, 14 Maret 2024 - Hermansyah, peneliti Filologi Melayu-Aceh dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh, mengusulkan pembangunan museum manuskrip kuno di Aceh. Usulan ini muncul karena kekhawatiran atas kurangnya dokumentasi dan perawatan terhadap ribuan manuskrip bersejarah yang tersebar di Aceh. Kondisi ini mengancam kelestarian warisan budaya Aceh yang sangat berharga.
Hermansyah memperkirakan terdapat sekitar 10.000 manuskrip di Aceh, namun hanya sekitar 2.000 yang dirawat pemerintah. Sebagian besar manuskrip lainnya berada dalam koleksi pribadi masyarakat di berbagai daerah, seperti Aceh Utara, Pidie, Aceh Barat, dan Nagan Raya. Kondisi ini memprihatinkan, mengingat banyak manuskrip yang mengalami kerusakan alami atau berpindah tangan tanpa terdokumentasi dengan baik. "Misalnya saya menemukan naskah di Lampanah Aceh Besar, tahun ini ada. Tahun depan sudah tidak ada lagi. Apakah dia bermigrasi ke Banda Aceh atau ke luar tidak tahu. Itu yang migrasi, belum lagi yang rusak," ungkap Hermansyah.
Selain itu, Hermansyah menyoroti minimnya dokumentasi detail terhadap manuskrip yang telah dikoleksi pemerintah. Ribuan manuskrip di Museum Aceh, misalnya, belum dilengkapi indeks yang memadai untuk memudahkan pencarian informasi. "Dari ribuan manuskrip yang ada di Museum Aceh, belum ada yang terdokumentasi secara detail mengenai isinya. Misalnya, kalau ada orang yang ingin mencari manuskrip tentang kuliner, mereka tidak bisa langsung menemukannya karena belum ada indeks untuk mempermudah pencarian," jelasnya.
Menyelamatkan dan Memberdayakan Warisan Aceh
Hermansyah menekankan perlunya kajian lebih lanjut terhadap manuskrip-manuskrip tersebut untuk mengedukasi masyarakat. Digitalisasi dan alih aksara juga sangat penting agar informasi dalam manuskrip Aceh lebih mudah diakses. "Kita butuh program alih aksara dan alih bahasa agar manuskrip bisa lebih mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat. Saat ini, manuskrip kuno banyak yang menggunakan bahasa Aceh lama atau tulisan Arab Jawi yang tidak semua orang bisa baca," tuturnya.
Pendirian museum khusus manuskrip kuno dinilai sebagai solusi tepat. Museum ini dapat menjadi wadah untuk memamerkan hasil digitalisasi dan alih aksara, serta menyelenggarakan kajian-kajian terkait. Selain melestarikan warisan intelektual para ulama dan ilmuwan Aceh, museum ini juga berpotensi besar sebagai daya tarik wisata domestik dan internasional.
Dengan adanya museum ini, informasi mengenai manuskrip Aceh dapat diakses lebih mudah. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan sejarah dan budaya Aceh. "Museum ini nantinya dapat menjadi pusat informasi manuskrip Aceh dan saya pikir ini juga dapat menjadi potensi wisata dengan mempromosikan sejarah Aceh," pungkas Hermansyah.
Lebih lanjut, Hermansyah berharap agar pemerintah Aceh dapat segera merealisasikan usulan ini. Hal ini penting untuk mencegah hilangnya manuskrip-manuskrip berharga yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah dan identitas Aceh.
Potensi Museum Manuskrip Aceh
- Pelestarian Warisan Budaya: Museum akan menjadi pusat penyimpanan dan perawatan manuskrip kuno Aceh.
- Peningkatan Akses Informasi: Digitalisasi dan alih aksara akan memudahkan akses informasi bagi masyarakat luas.
- Pengembangan Pariwisata: Museum berpotensi menjadi daya tarik wisata baru yang mempromosikan sejarah Aceh.
- Pendidikan dan Penelitian: Museum akan menjadi tempat penelitian dan edukasi tentang sejarah dan budaya Aceh.
Dengan terwujudnya museum ini, diharapkan manuskrip-manuskrip kuno Aceh dapat terjaga kelestariannya dan informasi berharga di dalamnya dapat diakses oleh generasi mendatang. Ini merupakan langkah penting dalam menjaga warisan budaya dan sejarah Aceh untuk masa depan.