Perempuan Desa Berakit: Jaga Mangrove, Jaga Keluarga
Kisah inspiratif perempuan Desa Berakit, Bintan, yang berjuang menjaga kelestarian mangrove demi kesejahteraan keluarga dan lingkungan.

Monika (62), seorang nelayan perempuan di Kampung Panglong, Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, menghabiskan siang harinya beristirahat sebelum kembali melaut mencari teripang. Pekerjaan melaut telah menjadi bagian hidupnya sejak kecil, turun temurun dari keluarganya yang merupakan Suku Laut. Ia melakukan pekerjaan ini untuk membantu perekonomian keluarga, mengingat penghasilan suaminya yang terbatas sebagai nelayan pencari kepiting. Monika mendapatkan penghasilan tambahan yang signifikan, sekitar Rp1 juta dari hasil mencari gamat setiap 10 hari, sementara suaminya hanya mendapatkan Rp100.000 hingga Rp300.000 per hari.
Selain mencari nafkah di laut, Monika juga aktif dalam Kelompok Usaha Masyarakat Panglong, bersama empat perempuan nelayan lainnya. Sejak September 2024, mereka tidak hanya fokus mencari hasil laut, tetapi juga aktif mengumpulkan dan menyemai bibit mangrove untuk ditanam kembali. Kelompok ini memiliki persemaian yang mampu menampung 4.000 bibit mangrove jenis Rhizophora stylosa, yang direncanakan akan ditanam pada April 2025. "Saya ini kalau tidak melaut tidak enak. Uang suami ada, tapi kan terbatas. Kalau kite pake buat beli barang kan segan, suami dah susah-suah nyari duit. Saya punya kebutuhan sendiri, nak bagi cucu, pergi berjalan, tidak enak kalau menyusahkan suami," ungkap Monika.
Kepedulian terhadap kelestarian mangrove muncul dari pengalaman para nelayan yang merasakan dampak negatif penebangan mangrove terhadap ekosistem laut. Penebangan tersebut menyebabkan kesulitan mencari ikan dan hasil laut lainnya, memaksa mereka melaut lebih jauh. Namun, sejak awal tahun 2000, penebangan mangrove untuk kayu bakar dihentikan, dan penetapan hutan mangrove di Desa Berakit sebagai kawasan konservasi menjadi titik balik bagi para nelayan untuk menjaga kelestariannya.
Perjuangan Para 'Worrior' Mangrove
Gerakan menjaga mangrove di Desa Berakit melibatkan hampir 40 perempuan dari berbagai profesi, tidak hanya nelayan. Mereka tergabung dalam dua Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP), yaitu KUEP Tenggiri dan KUEP Melati. KUEP Melati fokus pada produksi kue, sementara KUEP Tenggiri merintis usaha olahan bakso ikan. Motivasi mereka beragam, salah satunya adalah untuk menambah penghasilan keluarga, terutama saat musim angin utara yang membuat nelayan kesulitan melaut. Ayu Narti, Ketua KUEP Tenggiri, misalnya, juga bekerja menjahit untuk menambah penghasilan keluarganya.
Para perempuan ini, yang dijuluki "worrior mangrove", aktif dalam penanaman bibit mangrove, meskipun harus menghadapi tantangan seperti gatal-gatal akibat lumpur laut. Mujiastuti, salah satu anggota, bahkan mengalami gatal-gatal selama sebulan setelah menyusuri lumpur di hutan bakau, tetapi tetap bersemangat untuk melanjutkan kegiatan konservasi. Mereka bekerja sama dengan para suami, di mana para suami mencari bibit mangrove, sementara para istri menyemai dan menanamnya. Total ada 46.000 bibit mangrove siap tanam yang dihasilkan dari upaya mereka.
Perjuangan mereka tidak dilakukan sendiri. Mereka mendapatkan pendampingan intensif dari Yayasan Ecology Kepulauan Riau (YEKR), didukung oleh Yayasan CARE Indonesia, dan termonitor oleh pemerintah daerah. Mereka dilatih dalam berbagai aspek, mulai dari mencari bibit, menyemai, menanam, hingga pengembangan potensi ekonomi dari mangrove, seperti membatik dengan pewarna alami dan membuat olahan kue dari buah bakau.
Dukungan dan Harapan untuk Konservasi
Dukungan juga datang dari Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Srikandi, yang beranggotakan 14 laki-laki dan dua perempuan, salah satunya Romana Rebo (Kak Ros), anggota BPD Berakit. Kak Ros berperan sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah desa. Pemerintah Desa Berakit juga aktif dalam mendukung kegiatan konservasi mangrove ini.
Meskipun upaya yang dilakukan sudah luar biasa, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Luas areal kawasan mangrove yang perlu ditanami kembali mencapai 65 hektare, sementara 46.000 bibit yang tersedia baru cukup untuk satu hektare. Kepala Bidang Kelautan Konservasi dan Pengawasan Dinas Kelautan Perikanan Kepri, Raja Taufik Zulfikar, menyampaikan bahwa luas kawasan konservasi perairan di wilayah timur Pulau Bintan mencapai 138.661,420 hektare. DKP Kepri mengapresiasi peran perempuan Desa Berakit dalam konservasi mangrove dan mengajak semua pihak untuk berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Kisah para perempuan Desa Berakit ini menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat, khususnya kaum perempuan, dapat menjadi agen perubahan dalam menjaga lingkungan. Semangat dan kegigihan mereka dalam menjaga kelestarian mangrove tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.