Politik Uang: Sorotan Komisi II DPR dalam Revisi UU Pemilu
Komisi II DPR RI menyoroti maraknya politik uang dalam Pemilu 2024 dan mendesak revisi UU Pemilu untuk mengatasi masalah ini, selain perbaikan sistem teknis.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, memimpin rapat dengar pendapat umum pada 5 Maret 2024. Rapat tersebut membahas revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Fokus utama rapat adalah perbaikan sistem kepemiluan di Indonesia, khususnya masalah politik uang yang dinilai semakin masif.
Dede Yusuf menekankan perlunya revisi UU Pemilu tidak hanya berfokus pada aspek teknis seperti metode penghitungan suara, daerah pemilihan, atau threshold, tetapi juga harus secara serius mengatasi praktik politik uang. Ia menyatakan, "Kami harus melakukan revisi Undang-Undang Pemilu bukan hanya pada sistem metode penghitungannya, bukan hanya masalah per dapil (daerah pemilihan), bukan hanya masalah threshold atau lain-lainnya, tetapi juga masalah-masalah lain, seperti money politics-nya."
Pemilu Serentak 2024 disebut sebagai pemilu paling brutal dan transaksional. Hal ini menjadi preseden buruk dan mendorong Komisi II untuk mengambil langkah tegas dalam revisi UU Pemilu. Anggota Komisi II lainnya, Edi Oloan Pasaribu, juga menyoroti masalah politik uang dan netralitas sebagai dua isu krusial yang perlu diatasi. Ia menambahkan bahwa perbaikan sistem saja tidak cukup tanpa perubahan perilaku penyelenggara dan peserta pemilu.
Politik Uang dan Netralitas: Tantangan Revisi UU Pemilu
Edi Oloan Pasaribu mengungkapkan kekhawatirannya bahwa desain sistem pemilu yang baik pun akan sia-sia jika tidak dijalankan dengan baik. Ia menyatakan, "Untuk money politics dan netralitas, bagaimanapun sistemnya kita bangun, kita bentuk, itu tidak akan terjadi perubahan yang radikal kalau tidak (ada perubahan) perilakunya." Menurutnya, "The right system will produce the right result, sistem yang baik (akan) menghasilkan hasil yang baik, tetapi kalau yang menjalankan sistemnya juga enggak baik, susah ini."
Ia memprediksi bahwa jika politik uang tidak dihentikan, akan terjadi inflasi demokrasi yang semakin besar pada Pemilu 2029. Hal ini menunjukkan urgensi revisi UU Pemilu untuk mengatasi masalah ini secara struktural dan kultural.
Anggota Komisi II lainnya, Deddy Sitorus, menambahkan pentingnya perbaikan moralitas lembaga penyelenggara pemilu sebagai faktor internal. Ia menekankan bahwa perbaikan perilaku penyelenggara dan pengawas pemilu sangat penting, karena tidak ada sistem pemilu yang sempurna tanpa penyelenggara yang berintegritas. Deddy mengatakan, "Ketika penyelenggara dan pengawas yang menjadi bagian dari kerusakan itu, gimana sih ngatasin itu, kalau kita mau bicara memperbaiki pemilu? Karena tidak ada sistem pemilu apa pun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada."
Faktor Eksternal: 'Cawe-cawe' Kekuasaan
Selain faktor internal, Deddy Sitorus juga menyoroti faktor eksternal, yaitu intervensi kekuasaan atau yang sering disebut 'cawe-cawe' dalam pemilu. Ia berpendapat bahwa revisi UU Pemilu akan sia-sia jika pemilu tetap rentan terhadap tekanan dan manipulasi dari pihak-pihak yang berkuasa. Ia menambahkan, "Jadi, akan menjadi sangat sia-sia kita berbicara berbagai macam skenario pemilu, skenario perbaikan partai politik, penyelenggara pemilu, kalau pemilu itu sendiri sangat rentan terhadap kekuasaan, terhadap institusi-institusi yang memiliki kekuatan untuk menekan, mempengaruhi hasil, memanipulasi dan sebagainya."
Kesimpulannya, revisi UU Pemilu harus mengatasi masalah politik uang dan intervensi kekuasaan secara komprehensif. Perbaikan sistem teknis perlu diimbangi dengan perbaikan perilaku dan moralitas penyelenggara pemilu serta penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik uang. Hanya dengan pendekatan yang holistik, Indonesia dapat mewujudkan pemilu yang lebih demokratis dan berintegritas.