Puasa: Latihan Efektif Kendalikan Emosi, Kata Psikolog
Psikolog ungkapkan puasa Ramadan sebagai metode efektif melatih pengendalian emosi, membentuk kebiasaan baru dalam 21 hari.

Samarinda, 27 Maret 2024 - Sebuah penelitian terbaru dari psikolog klinis RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda, Kalimantan Timur, mengungkap manfaat luar biasa dari ibadah puasa Ramadan. Rani Meita Pratiwi, sang psikolog, menyatakan bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan juga menjadi ajang latihan intensif untuk mengendalikan emosi. Hal ini disampaikannya dalam sebuah pernyataan di Samarinda, Kamis lalu.
Menurut Rani, esensi puasa terletak pada kemampuan untuk mengelola emosi agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Ia menjelaskan, "Esensi dari menahan diri saat berpuasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga mengelola emosi agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain."
Penelitian ini mengacu pada teori Psycho-Cybernetics karya Maxwell Maltz yang menjelaskan bahwa pembentukan kebiasaan baru membutuhkan waktu sekitar 21 hari. Dengan konsistensi berpuasa, terutama selama 10 hari pertama, pola pengendalian emosi baru akan terbentuk dalam kurun waktu tersebut. Hal ini diharapkan dapat berdampak positif pada stabilitas emosi setelah bulan Ramadan berakhir.
Puasa dan Pengendalian Emosi: Sebuah Kebiasaan Baru
Rani menekankan pentingnya praktik konsisten dalam mengendalikan emosi selama Ramadan. Bukan sekadar pengetahuan teoritis, melainkan penerapan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjelaskan, "Menahan emosi saat berpuasa bukan berarti menekan perasaan, melainkan mengendalikan respons terhadap perasaan tersebut."
Sebagai contoh, jika seseorang tidak sengaja menyakiti perasaan orang lain, orang yang berpuasa tetap mengakui rasa sakit hati tersebut, namun memilih untuk tidak membalasnya. Ini merupakan bentuk pengendalian diri dan menjaga nilai ibadah puasa. "Mestinya 30 hari ini menjadi satu latihan yang baik sehingga bukan hanya bulan Ramadhan tetapi setelah itu bahkan misalnya sudah berpuasa 20 tahun, itu cukup menjadi bukti bahwa emosi kita bisa kita kontrol dengan efektif kok," tambahnya.
Lebih lanjut, Rani menjelaskan bahwa kemampuan mengontrol emosi yang dilatih selama Ramadan dapat memberikan dampak jangka panjang. Konsistensi dalam berpuasa selama bertahun-tahun akan memperkuat kemampuan ini, sehingga emosi dapat dikendalikan secara efektif, bahkan di luar bulan Ramadan.
Memahami Emosi: Lebih dari Sekadar Amarah
Rani juga meluruskan kesalahpahaman umum mengenai emosi. Ia menjelaskan bahwa emosi merupakan respons fisiologis yang normal bagi setiap manusia, meliputi emosi dasar seperti senang, sedih, takut, marah, dan jijik. Emosi bukan hanya sebatas amarah, seperti yang seringkali diartikan.
Emosi memiliki peran penting dalam mengekspresikan respons seseorang terhadap situasi tertentu. Ketiadaan emosi justru patut dipertanyakan. Sebagai contoh, seseorang yang tidak tertawa saat mendengar cerita lucu atau tidak menunjukkan kesedihan saat menghadapi musibah, perlu diwaspadai kondisi emosinya.
Penting untuk diingat bahwa emosi tidak selalu negatif; ada juga emosi positif. Tantangannya terletak pada bagaimana merespons emosi tersebut secara tepat. "Yang menjadi buruk itu sebenarnya bukan emosi yang keluar, tetapi respons untuk melihat si emosi itu keluar," jelas Rani.
Kesimpulan
Melalui penelitian ini, Rani Meita Pratiwi memberikan pemahaman baru tentang manfaat puasa Ramadan. Puasa tidak hanya bermanfaat secara spiritual, tetapi juga memberikan latihan efektif untuk mengendalikan emosi, membentuk kebiasaan baru, dan meningkatkan kesejahteraan mental jangka panjang. Dengan memahami dan mengelola emosi dengan tepat, kita dapat menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan harmonis.